"Ada urusan apa kamu ingin bertemu dengan saya?" Pasha melihat Maya dengan sorot mata acuh tak acuh. Pasha jelas mengenal Maya dan mengingatnya sebagai teman Hana yang paling cerewet.
Chaca meremas jari-jemarinya gugup, "Saya ingin mengatakan sesuatu perihal Ha—"
"Tujuh menit!" Pasha meletakkan jam pasir kecilnya di meja, "Setelahnya saya harus pergi bertemu kolega bisnis saya."
Chaca menarik nafas dalam dan menghembusnya perlahan. Rasanya Chaca masih tidak percaya pria arogan didepannya ini adalah suami dari sahabatnya, Hana.
"Baik." Angguk Chaca mantap. Seketika kegugupannya lenyap begitu saja.
"Apa anda tau cara memperlakukan wanita dengan manis?" Chaca tidak punya niat untuk basa-basi sejak awal. Langsung membuka topik pembicaraan dengan pertanyaan yang menjurus ke poin yang akan dibahasnya dengan Pasha.
"..." Mata elang Pasha terlihat datar, menanti Maya berbicara lebih jauh.
"Anda tau apa yang terjadi pada Hana hari ini?"
Pasha refleks bangun dari sandaran kursi kerjanya, "Apa yang terjadi padanya?" Otot-otot tubuh Pasha menegang panik. Meskipun itu tidak tergambar dalam raut wajahnya yang dingin dan minim ekspresi, tapi...
Reaksi Pasha itu terbaca jelas. Membuat Chaca tersenyum dingin, 'Baguslah dia masih tau cara mengkhawatirkan istrinya'
"Dia tidak fokus selama pembelajaran dan setelah perkuliahan hari ini berakhir—dia menangis keras dalam pelukan kami sambil mengatakan ia sangat takut dengan pernikahannya."
Otot-otot tubuh Pasha perlahan rileks kembali. Masih dengan rahang mengetat dan wajah yang sedikitpun tidak ekspresif— Pasha hanya diam tidak menanggapi.
"Aku bertanya-tanya, apa yang membuat Hana sampai se-takut itu dengan pernikahannya. Tapi melihat koyakan kecil di bibirnya, saya langsung mengerti kenapa." Chaca mengambil selangkah lebih dekat ke meja kerja Pasha dan sorot matanya berubah dingin, "Anda lah yang membuat Hana ketakutan dengan pernikahan kalian."
Sekilas bulu mata Pasha bergetar dalam ke-ambiguan. Mulutnya masih tertutup rapat, enggan menanggapi.
Chaca sama sekali tidak terganggu dengan kesunyian Pasha, Chaca hanya berharap Pasha benar-benar merenungi perkataannya hari ini.
"Anda tau kan betapa lembut nya seorang Hana? Itulah kenapa sejak awal saya tidak pernah setuju dia menikah dengan pria apatis seperti anda." Chaca memang tidak tau rumor yang beredar tentang Pasha diluar sana. Tapi setelah beberapa kali berjumpa, sekilas saja ia langsung tau orang seperti apa Pasha.
"Tapi karena kalian berdua sudah menikah, saya sebagai sahabat hanya bisa melakukan ini untuknya." Tatapan dingin Chaca berubah menjadi tajam, tampak yang sepasang bola mata itu bergetar nyaris tak tahan untuk menelan pria didepannya itu, "Hana itu manusia bukan boneka yang dapat anda atur sesuka hati anda. Hana punya perasaan bukan benda mati yang tak punya hati. Jadi—"
Chaca menekan kedua telapak tangannya di atas meja kerja Pasha, membungkukkan wajahnya tepat didepan wajah dingin Pasha. Tanpa sepengetahuan Chaca, sikapnya itu terus dalam pantauan seseorang yang sejak tadi menonton dalam kilat kekaguman.
"Perlakukan Hana selayaknya istri yang anda cintai, bukan benda mati ataupun permata berharga yang harus anda awasi." Chaca berhenti membungkuk dan menekan meja Pasha. Merogoh sesuatu dari Tote bag nya, Chaca mengeluarkan selembar kertas dan pulpen.
"Saya tau kesulitan anda. Pribadi yang minim emosi seperti anda pasti tidak cukup tau cara memperlakukan seseorang dengan manusiawi." Ujar Chaca sambil menuliskan sesuatu di selembar kertas kosong yang tadi ia ambil dari Tote bag nya.
"Itulah kenapa hari ini saya datang, lebih tepatnya memberi anda peringatan sekaligus bantuan." Chaca memasukkan bolpoin nya ke dalam Tote bag dan matanya tersenyum pongah kearah Pasha, "Saya cukup murah hati bukan?"
Pasha menanggapi itu dengan tersenyum jijik, "Ini sudah tujuh menit, apa kamu sudah selesai?"
Chaca meletakkan selembar kertas yang sudah berisi nomor kontaknya di atas meja Pasha, "Saya sudah selesai memberi anda peringatan dan ini adalah bantuan yang baru saja saya katakan." Chaca mengetuk kertas itu yang sudah ada di meja Pasha.
Pasha mengerutkan dahinya, menatap
Chaca dengan sorot mata bertanya, 'Apa ini?
"Itu adalah kontak saya. Hubungi saya jika anda kesulitan dalam bersikap sebagai seorang suami yang manusiawi. Saya dapat menjadi tutor yang baik buat anda." Chaca tersenyum klise.
"Kalau begitu saya permisi."
Tepat setelah meninggalkan ruang kerja Pasha, Chaca menghembuskan nafas lega. Nyaris saja Chaca hampir mati ketakutan didalam. Tak dapat dipungkiri, aura dingin dan gelap Pasha, itu tak dapat dianggap angin sekadar lalu.
"Adik kecil, yang tadi itu cukup keren."
Chaca dikejutkan dengan keberadaan Eman. Pria itu berjalan kearahnya sambil tersenyum lugas.
'Adik kecil?' Entah bagaimana kedua pipi Chaca menghangat.
"Ah, engga kok pak, biasa aja!" Chaca tersenyum canggung. Eman tidak tau saja bagaimana ia menyembunyikan rasa takutnya tadi didalam.
"Jika karyawan lain yang melihat, mereka pasti akan memuji seperti itu juga." Eman lagi-lagi tersenyum, mata itu berbinar begitu mempesona dalam retina Chaca, "Karena tak ada seorangpun disini yang berani memarahi Pak Pasha seperti kamu."
Chaca tertawa kecil, 'Apa yang tadi itu aku terlihat seperti memarahi pak Pasha?' Chaca nyaris tak ingat apa yang telah ia lakukan.
"Kalau begitu saya permisi ya pak, terimakasih sebelumnya untuk bantuannya tadi." Chaca tersenyum sopan.
"Eum" Angguk Eman dan dengan santainya berjalan pergi kembali masuk kedalam ruang kerja Pasha.
"Apa kamu sudah menemukan keberadaan istri saya?"
"Baik kalau begitu awasi kemanapun istri saya pergi. Lakukan secara diam-diam, jangan sampai istri saya menyadarinya."
"Kabari saya setiap satu jam sekali."
Pasha menutup panggilan dan menatap selembar kertas yang ditinggal kan Chaca. Di sana ada deretan nomor kontak gadis itu.
"Anda sedang mencoba mengawasi setiap pergerakan istri anda pak?" Eman yang sekilas mendengar pembicaraan Pasha ditelpon, langsung menduga hal itu.
"Eum"
"Apa anda tidak mengindahkan peringatan sahabat istri bapak tadi?"
"Kenapa saya harus?" Angkuh Pasha, "Menurut mu bocah ingusan seperti itu apa pantas mengajari saya bersikap sebagai seorang suami?"
"Menurut saya apa yang dikatakan gadis itu cukup benar. Anda harus mempelajari cara memperlakukan istri anda dengan manusiawi."