Beruntung Irfan masuk ke dalam tim Julia. Tidak menunggu sampai satu bulan dia sudah resmi menjadi karyawan di Lembaga Ruang Belajar dan sudah menandatangani kontrak kerja. Dengan begitu beberapa hari ini dia dan Julia berakhir pulang di waktu langit sudah gelap untuk mengedit video record dari beberapa pengajar untuk dimasukkan ke dalam website. Tapi lagi-lagi hal ini membuat Julia murung sejak pagi. Dirinya menatap kalender yang ada di ruang privat C, ruangan yang sekarang jadi seperti rumah keduanya.
“Kenapa? lo punya janji bulan ini?” tanya Irfan yang sibuk menatap layar komputer sambil menyesap pelan-pelan kopi hitam yang dia bawa dari rumah.
“Mbak Jul memangnya belom bilang sama Bu Bertila?” tanya Aulia.
Aku menggeleng. “Bingung gue, Irfan anak baru disini pasti masih banyak hal yang belom dia tahu. Semua tentang website dari awal udah gue yang pegang. Otomatis gak bisa langsung beralih gitu aja, berasa gak tanggung jawab gue.”
“Bener juga sih, Mbak.”
Aku membalik kalender duduk yang sejak tadi kupandangi. Kulihat Irfan duduk dengan tatapan bingung dan sedikit memberikan kode kepadaku.
“Gak usah kepo!” balasku.
Beberapa minggu kerja bersama Irfan sejujurnya tidak aku temukan kendala. Kita berdua memiliki visi yang sama, enjoy, happy and supportive. Bahkan skill yang Irfan miliki setingkat lebih tinggi dari aku, hal itu membuat kemudahan ketika ada terjadi kendala dalam menjalani program website. Kalau saja aku memilih resign pada bulan ini pun, website akan berjalan dengan lancar. Tapi sayangnya, aku masih memegang teguh sikap profesionalitas. Tidak akan aku biarkan pergi dengan setumpuk kerjaan bagi pegawai baru. Jika difikir lagi aku akan mendapatkan setumpuk bonus dari Bu Bertila jika bertahan sedikit lagi. Setidaknya hingga tiga bulan masa percobaan awal Irfan kerja.
“Terus, Mbak sampai kapan?”
“Sampai gue selesai tugas deh, Au. Gak sehat lama-lama gue disini.”
“Mbakkk…” lirih Aulia yang mulai meratapiku sendu. "Gue gak rela Lo bisa keluar dari sini secepat itu!"
"Spadaaa!!!" Muncul Anggia seketika membuat pandangan fokus ke arah pintu terbuka.
"Seneng banget Lo?" Tanyaku. Penasaran, jangan sampai dia lolos dahulu.
"Nanti malem pada sibuk, gak? Gue mau ajak nongki di es-kopi sebelah." Tanyanya sambil menaik turunkan alisnya.
"Gue free!" jawab Irfan dengan senyum menawan, membalik kursi dan menampakkan jejeran giginya.
Spontan mataku langsung melirik Irfan yang ternyata juga menatap ke arahku. "Gak weekend aja?"
"Demi membagikan suatu kebahagiaan, gue gak mau menunda sampai weekend. Sekalian gue butuh arah Lo, Jul." tukas Anggia.
Anggia berjalan mendekatiku, duduk dengan tangan yang mengepal di depan dada. Sungguh memohon.
"Udah ikut aja, Jul. Lo sibuk bener soal kerjaan pasti butuh refreshing." timpal Irfan.
Bukan tidak mau menerima ajakan Anggia, aku sungguh lelah beberapa hari ini harus kembali pulang malam. Tubuhku sudah meminta rebahan di kasur empuk sejak kakiku melangkah ke ruangan pagi tadi.
Aku menghela nafas panjang. "Okay. Traktir tapi!!"
"Tenang."
***
Pukul tujuh tepat aku, Anggia, Aulia, Milan dan Irfan langsung menuju es-kopi yang berada di seberang kantor. Kami memilih posisi bagian rooftop, lebih tepatnya aku yang meminta. Alasan klasik karena aku suka melihat lampu-lampu dari atas tempat ini.
"Gue gak bakal tahu tempat asik begini kalau bukan kalian yang ngajak."
"Lo yang mau ikut kali!" selah ku tepat kami baru saja mendaratkan bokong di kursi.
"Sensi banget sih!"