Pagi penuh air mata akhirnya berlalu begitu saja setelah pesan dari Lydia yang ternyata tidak hanya mendarat di ponselku. Mbak Milan, Irfan, Aulia dan pastinya Anggia juga mendapatkan pesan peringatan. Tidak ingin kehilangan sikap profesional, malah Anggia langsung terlihat lebih sibuk hari ini. Bahkan, waktu sudah lewat setengah jam dari waktu istirahat tidak ada batang hidung Anggia muncul di ruangan C seperti hari-hari biasanya.
“Terakhir gue liat di kelasnya masih ada Jovan sih, Mbak!” ucapku ketika tadi hendak keruangan C melewati kelas Anggia. Dia tampak masih mengajarkan Jovan, salah satu dari murid ambis di kelas biologi Anggia.
“Gue rasa dia cuma meluapkan kekesalan aja, makanya gak berhenti kelas dia.” timpal Mbak Milan.
Aku pun setuju dengan yang dikatakan Mba Milan, beberapa tahun bekerja dengan Anggia membuatku semakin mengenal bagaimana ekspresi kesal, senang, sedih seorang Anggia.
“Ya Sudahlah, kalau gitu kita makan dulu!” ucap Irfan, “Udah gue bawain nih, Li!” di tangannya ada sekantong ayam goreng hasil ngidam Aulia di grup tadi sebelum kelas selesai.
“Makasih kak Irfan! Nanti gue minta nomor rekening lo ya, biar gue ganti.” Aulia langsung menyerbu kantong ayam itu.
“Santai, kali ini gue traktir! Tapi jangan lupa pisahin untuk Anggia, kita harus hibur dia juga.” tambah Irfan.
Sontak aku melirik Irfan yang menarik kursi disampingku, entah angin apa yang membuatku senang mendengar pernyataan Irfan berada di pihakku, Mbak Milan dan Aulia. Salah kalau aku sebelumnya mengira Irfan akan mengikuti semua omongan Lydia. Huh, jangan sampai berprasangka buruk lagi.
“Lo rajin amat bawa bekal terus, Jul?” tanya Irfan yang ternyata memperhatikan wadah bekalku dengan lauk bervariasi.
Aku mengangguk. “Mama yang udah masakin.”
“Enak dong, kalau pagi udah dimasakin! Btw, lo sendiri bisa masak Jul?”
Aku hendak membuka mulut, tapi Mbak Milan jauh lebih dulu menanggapi pertanyaan Irfan dengan nada yang bisa ku baca. “Gak ada lampu ijo buat lo Irfan. Julia udah punya gebetan!”
“Lo kenapa Mil? Cemburu?” balik goda Irfan selalu menanggapi dengan santai sentakan Mbak Milan.
Sejujurnya Mbak Milan tahu saat ini aku tidak dekat dengan siapapun, namun beruntung atau memang Milan sengaja tidak ingin Irfan dekatku. Entahlah, jelas aku tidak memiliki ketertarikan apapun dengan Irfan.
“Enak aja! Gue tau kali arah lo mau kemana!” timpal Milan lagi.
Sial. Bukan perdebatan yang berhenti, kali ini tubuh Irfan mendadak berubah posisi ke arahku. “Gue heran deh, Jul. Padahal gue cuma basa-basi sama elo, Milan udah sensi aja sama gue. Apalagi gue suka sama lo, ya?”
Uhuk. Suapan nasi dengan secuil kulit ayam mendadak tersangkut di kerongkonganku, berhasil membuatku terbatuk-batuk. Bukan karena ucapan Irfan yang membuatku kaget, kan?
“Minum, Jul!” Mbak Milan langsung menyodorkan tumbler hijau milikku.
“Kak Julia gak apa-apa? Minum dulu, kak!” Aulia ikut khawatir, juga menonton batuk-batuk yang aku alami tidak kunjung berhenti.
Plak. Jauh lebih kaget. Tepukan di atas pundakku malah membuatku jauh lebih baik. Tumbler yang disodorkan Mbak Milan lekas ku ambil dan segera minum.
“Manjurkan!” ringis Irfan sambil menampilkan jejeran giginya. Dialah orang yang baru saja menepuk pundakku.
Kesal. Tapi, aku pernah membaca salah satu artikel kalau ada seseorang tersedak maka boleh dipukul bagian punggung dekat leher untuk segera meredakan bahkan bisa mengeluarkan benda yang berhasil membuat tersedak. Benar saja, ada tulang ayam berukuran kecil berhasil tersembur keluar setelah tepukan Irfan tadi. Dan saat ini, keadaan ku jauh lebih baik.
“Jangan kaget gitu dong, Jul. Gue baru bilang kalau aja gue suka, bukan bilang suka beneran!” cerocoh Irfan yang tanpa rasa bersalah.
“Lo bisa diem aja gak, Fan! Enek deh gue dengernya!” ketus Mbak Milan yang terang-terangan kesal mendengar perkataan dari mulut Irfan siang ini.
Menyebalkan sekali. Aku menambahkan. “Mending lo diem, Fan. Makin ilfel gue sama lo. Narsis amat!”
“Udah! Lanjut makan aja kakak kakak sekalian, sebelum ndoro putri pc kita satu-satu kayak tadi pagi lagi!” untung diantara keempat orang diruangan C siang ini, masih tersisa Aulia yang otaknya jauh lebih waras. Adik yang patuh.
Aku lanjut menghabiskan setengah dari bekal yang dibawa, juga Irfan, Mbak Milan dan Aulia tidak mengeluarkan sepatah kata apapun hingga tempat makan masing-masing tidak tersisa apapun.
Aulia bangkit lebih dulu, tempat makan dia tersisa bekas tulang langsung ikut dibawa ke pantry supaya dibersihkan. Tapi langkahnya terhenti ketika Mbak Milan memanggilnya, “Gue minta tisu elo dimana, dek?”