Kamis ajaib. Jam dinding di kelas A ternyata masih berputar di angka tiga saat seluruh kegiatan kelas sudah selesai. Paling mengejutkan sekaligus menyenangkan juga kegiatan di ruangan aku dan Irfan baru saja selesai menyusun rundown opening perilisan website. Artinya…
“Balik nih?” tanya Irfan yang juga sedang memasukkan barang-barang ke dalam tas ransel kebanggaannya.
Aku menaikkan alis lalu memukul meja menatap Irfan seolah menemukan ide brilian. “Ini waktunya!”
“Apaan deh, gak usah bikin gue jantungan!” jawab Irfan yang berubah tak suka.
Bukannya menjawab, aku sibuk mencari ponsel di dalam tas. Mencari roomchat grup dengan pejuang resign.
Julia : Time to ghibah kuy, kafe deket deket sini aja
Gak ada penolakan.
Dengan penuh semangat aku memasukkan laptop dan ponsel ke dalam tas.
“Gue sama lainnya mau nongkrong di kafe dulu, lo mau ikut?” tanyaku sebelum meninggalkan kelas.
Tanpa disangka, Irfan langsung menggendong tas di punggungnya lalu berjalan mendekat sampai meletakkan satu tangannya di pundakku. Aku nyaris menolak tapi lengan Irfan rasanya berat beranjak dari pundakku. Aku tidak bisa berbuat apapun.
“Abis kerja full, gue juga butuh pelepas penat juga sih!”
Aku dan Irfan akhirnya berjalan keluar dari kelas dengan santai sampai tiba-tiba…
“Ini tempat kerja tau, bukan tempat pacaran!”
Seketika Irfan langsung melepas tangannya yang sejak tadi bertengger di pundakku. Aku dan Irfan sama-sama terkesiap melihat wujud Lydia yang tampak keluar dari toilet dengan wajah basah, rambut sedikit kusut yang berusaha di sisirnya, nyaris seperti…
“EH SETAAAN!” itu latahnya Irfan. Entah disengaja atau memang itu hal yang sulit di kontrol Irfan.
Lydia langsung melempar pandangan yang sangat intimidasi, aku kenal situasi ini. Persis seperti karakter Joker dalam film saat berekspresi menyeramkan.
“Gue gak pacaran sama Irfan kali, Mbak!” bantahku sebelum mulut manis Lydia menyebarkan gosip murahan dengan dalih bukti melihat langsung Irfan berjalan sambil merangkul aku. Bukan topik yang menarik.
“Lagi pdkt?” tatap Lydia bolak balik ke arahku dan Irfan. “Kebetulan pulang cepat nih, ajak ke cafe deket sini Fan, ada menu baru tuh lagi promo beli dua dapat free ice lecytea.”
Irfan mengangguk kikuk, “Iy… yaa Mbak, ini mau ke sana kok!”
Detik itu juga aku menginjak kaki Irfan yang langsung meringis kesakitan. “Auu… maa-”
“Semoga ada progres ya!” Lydia tampak terburu-buru lalu pergi meninggalkan aku dan Irfan dengan tatapan mataku yang tajam seakan ingin menerkam Irfan bulat-bulat saat ini.
“Kan dia taunya gue sama elo aja, enggak yang lain, Jul!”
Aku mendengus. Memang Irfan belum terbiasa menangkap radar buruk dari Lydia. Huhuhu.
***
“Uang taruhan kita masih di elo, Jul?” tanya Mbak Milan ketika aku baru datang dari memesan menu untuk meja ini.
Aku mengangguk cepat. Hampir saja melupakan uang yang aku korbankan dari kewajiban membeli skincare supaya berpacu semangat dengan teman-temanku supaya segera keluar dari tempat terkutuk itu. Lebih tepatnya tidak lagi melihat batang hidung Lydia yang semakin hari menambah suntuk pikiran.
“Kenapa? Mau lo ambil Mbak? Udah nyerah?” tanyaku sedikit meledek yang disambut balasan nada tinggi.
“Gak ada di kamus gue berhenti sebelum titik darah penghabisan! CAMKAN ITU!” Mbak Milan jauh lebih semangat kali ini.
Aku curiga dia sudah menyiapkan amunisi lain.
“Apa perlu gue tambahin ya taruhan supaya jiwa-jiwa ambisi ini semakin bergelora?” ucap Anggia yang seraya bergumam.