Persepsi

Pachira
Chapter #3

Titik Hitam

Tanpa disadari kadang pertemuan melahirkan serpihan-serpihan cinta yang terus menghantui dan merajai hati dan pikiran.

********

Seperti hari Minggu sebelum-sebelumnya hari ini Anam sibuk dengan singkong untuk membuat keripik, yang akan dititipkan pada tetangga-tetangganya. Lain halnya dengan Anin, gadis itu sudah menghilang dengan sepeda miliknya, apalagi yang dilakukannya kalau bukan berkendara mengelilingi kampung atau mungkin bergerak jauh menuju pantai. Anam sangat tahu adiknya itu sangat senang dengan dunia luar, berbeda dengan dirinya yang senang dengan berada di rumahnya.

Anam yang sedang menggoreng keripiknya mengerutkan alis ketika mendengar bel rumahnya yang berbunyi, gadis itu segera melepaskan sudip dan berjalan menuju pintu depan membukakan pintu. Mata Anam terbelalak melihat Nansar yang kini berdiri dengan kokoh di hadapannya. Anam tidak enak mau mengusir pria itu, tapi untuk mengizinkan pria itu masuk rasanya tidak sopan apalagi di rumahnya tidak ada orang lain sekarang. Akhirnya Anam mengajak pria itu masuk ke dalam rumahnya walaupun dengan berat hati, untung dirinya sudah hidup di zaman yang seperti sekarang. Karena menurut penuturan neneknya di jaman neneknya, laki-laki dan perempuan tidak diijonkan untuk duduk bersama atau jalan bersama. Itu bukan budaya mereka pada saat itu, Anam melirik Nansar dan meyakinkan hatinya bahwa semuanya baik-baik saja. Nansar tidak akan mungkin macam-macam pada dirinya.

“Jadi seperti ini kerjaan kamu kalau hari Minggu?” Nansar mulai bersuara mengamati Anam yang sibuk dengan gorengan keripiknya. Anam mengangguk tanpa menoleh pada Nansar, tangannya sibuk mengangkat keripiknya yang mulai garing.

“kamu kenapa susah-susah seperti ini sih? Aku bisa kok bantu kamu dengan uangku asal kamu tidak lari dari aku.” Anam mendadak kaget mendengar kalimat yang diucapkan pria itu, mungkin bagi orang lain itu adalah bantuan dari malaikat yang sangat menggiurkan. Tapi tidak bagi Anam, uang itu justru akan menjadi penjara untuk dirinya, banyak banget tuh teman-temannya dibiayai oleh pacar atau kekasih mereka yang berujung pada penyesalan walaupun tidak sedikit yang bahagia juga. Anam tidak mau mengambil resiko dengan hal-hal yang seperti itu. Kerja keras dengan keringatnya sendiri lebih nikmat hasilnya menurutnya. Setelah menenangkan hatinya, gadis itu menoleh sedikit pada Nansar yang melihatnya.

“Aku lebih senang seperti ini, lagi pula ini bukan kesusahan ini kebahagiaan aku kok.” Nansar terdiam, kemudian mengangguk saja. Sombong jaga gadis ini, Nansar bisa memberikan semuanya kalau Anam memintanya. 

“Aku borong semua deh, biar kamu tidak perlu capek-capek untuk jualan." Anam terbelalak, yang benar saja? Masa iya pria ini mau memakan semua keripik yang habis di gorengnya ini? Anam menatap Nansar dan keripiknya bergantian. Bukannya tidak bersyukur tapi sebenarnya Anam lebih senang jika keripiknya dijual saja seperti biasa. Agar dia tidak capek-capek untuk menggoreng lagi.

“Kakak mau makan semuanya. Aku tidak capek kok untuk jualan.” Nansar menggelengkan kepalanya, kemudian duduk di samping Anam. Anam mulai waswas, takut juga dia dengan tatapan tajam pria ini.

“Tidak dong, kamu kasih saja semua sama anak-anak sekalian sebagai hadiah mereka karena sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Aku balik dulu ya!” Anam menganggukkan kepalanya, gadis itu menatap uang dan keripik bergantian. Anam tidak setuju dengan pendapat pria itu, takut juga kalau anak-anak akan terbiasa dengan hadiah berupa makanan. Tapi disisi lain ini juga amanah, Anam berdiri membungkus keripiknya untuk melakukan sesuai yang diminta oleh Nansar.

Lihat selengkapnya