Persepsi

Pachira
Chapter #1

Bapak

Senyum adalah kekuatan terbesar untuk terlihat baik-baik saja padahal dunia sering kali memberi luka dan kepahitan.

*********

Anam masuk rumah dengan senyum yang mengembang kemudian mengucapkan salam. Tidak ada sahutan, gadis itu tersenyum dan berjalan menuju ke kamarnya. Melepaskan tas punggung miliknya kemudian mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah. Anam melihat jam dindingnya, sudah mendekati waktu asar dan dia belum makan siang.

Anam celingak-celinguk mencari keberadaan adiknya, tidak terlihat sedikitpun batang hidung adiknya. Gadis itu melirik kamar ibunya, sepertinya ibunya sudah pulang dari pasar karena kamar ibunya mulai terbuka. Anam segera ke dapur, dapur yang tidak seluas yang ada di film-film pun tidak seindah yang ada di beranda media sosial miliknya. Tapi itu sudah sangat cukup untuk keluarganya, Anam tersenyum melihat ibunya yang terlihat sedang makan. 

"Tadi bapak kamu datang, kamu tahu apa yang dilakukannya? Dia cuma datang minta uang sama ibu, memang dia pikir selama ini ibu yang mengambil semua uangnya? Harusnya Herman bisa berpikir ibu biayai kalian berdua sendirian. Masa seenak jidatnya dia datang minta uang, bukan cuma itu tadi dia sempat-sempatnya makan di rumah ini. Ibu sangat kesal dibuatnya." Anam menelan ludahnya, tapi tidak bertanya lebih jauh lagi. Gadis itu menyendok makanan yang sudah di masak ibunya. Kalau ditanyakan pada hatinya, Anam sudah kehilangan selera makan sejak ibunya mengomel. Keberadaan bapaknya memang sering membuat rumah ini menjadi suram tanpa warna, dan bahkan sampai seperti neraka. Anam tidak bereaksi lebih jauh selain melanjutkan makan, ibunya sangat sensitif perkara bapaknya. Jika Anam salah bicara maka dapat dipastikan yang terjadi selanjutnya adalah pertengkaran diantara mereka berdua.

"Pokoknya, ibu masih sakit hati sama bapakmu. Dulu dia dengan sombongnya membuang ibu dan melupakan kalian. Tetapi lihat! Sekarang dia datang kesini lagi, dengan alasan untuk menemui kalian. Padahal ibu tahu, itu cuma akal-akalannya saja." Ibunya masih mengoceh panjang lebar mengabaikan Anam yang mulai berkaca-kaca, atau bahkan mungkin ibunya tidak pernah melihat matanya yang berkaca-kaca. Anam menyelesaikan makannya dan berbasa-basi sebentar dengan ibunya sebelum masuk ke dalam kamarnya. Ocehan-ocehan ibunya tentang bapaknya sudah di dengarnya sejak dia masih kecil dulu, entah pada usia berapa. Anam semakin mengerti keadaan keluarganya setelah SMA, selama itu jangan pertanyakan berapa banyak air mata yang sudah jatuh karena untuk menangisi keadaan itu. Jangan tanyakan berapa banyak luka yang kini saling menindih dalam hatinya karena ulah bapaknya, ocehan-ocehan ibunya dan juga cekcok antara bapak dan ibunya.

Sekarang Anam baik-baik saja dengan keadaanya yang tidak sesempurna keadaan orang lain, karena dia sudah mampu menerima jika hidupnya memang ditakdirkan seperti ini. Menyalahkan bapaknya, menyalahkan ibunya, menyalahkan kakek neneknya sudah pernah dilakukannya tapi itu tidak membuat dirinya menemukan jawaban yang pasti. Karena jawabannya yang tepat semua ini terjadi karena sudah ditakdirkan jauh sebelum dirinya lahir ke dunia ini untuk melihat semampu apa dirinya melewati ujian ini. Anam tersenyum, setidaknya sekarang ruang hatinya menjadi lebih luas dibandingkan dulu.

 Selesai melaksanakan salat asar, gadis itu berdoa dengan tenang dan sungguh-sungguh pada Tuhannya. 

Lihat selengkapnya