Prolog
Pada saat kejadian kaki Delon patah, kami berumur delapan tahun. Penyebabnya terjadi karena dia mengejar seekor kupu-kupu untukku yang sedang demam dan karena ingin membuatku tersenyum serta segera cepat sembuh.
Tapi ternyata Delon tak lagi mengunjungiku, dia dilarikan ke rumah sakit, katanya kaki Delon terkena batu, cedera, terpelanting dan patah, dia juga tak berhasil mengambil kupu-kupu.
Beranjak dewasa, umur kami tak lagi delapan, tak lagi ada dua kue di meja, tak ada dua lilin yang terhias, tidak ada lautan manusia di rumah, semuanya menghilang, kami tak pernah melakukannya lagi.
Semenjak itu Delon jarang berinteraksi di rumah, setelah ia balik ke rumah dengan kakinya terbalut kassa putih, aku menduga jika Delon trauma.
Aku tak bisa menghiburnya, karena setiap dia melihatku, dia tak pernah menyapa, ke semua orang pun juga tak mau, kecuali ke salah satu orang yang dulunya dia benci; Andromeda.
Andromeda bukanlah keluarga kami, dia sebatang kara, dibawa ke rumah oleh papa, katanya papa menemukannya terlantar di jalanan.
Namun sepeninggalnya kebencian itu, Andromeda hadir membuat trauma Delon perlahan menghilang, dan sebaliknya Delon tak pernah mau menyapaku, begitu singkat jika mulutnya sudah bersuara, tak pernah mau bercanda, dan perlahan aku merasakan hal yang pernah Andromeda rasakan, sendirian.
——————∞——————
Satu.
Aku berjingkat di atas bangku, mengambil pesawat terbangku bewarna jingga yang menyangkut karena angin membawanya naik ke atas lemari ruang tengah.
Tanganku hampir menggapai atas permukaan lemari yang rata, dengan kakiku berjinjit, namun masih tak sampai juga. Aku kurang tinggi.
Pesawat itu terbang terlalu jauh menukiknya, membuatku berpikir kenapa Mama membeli peralatan ini begitu besar, orang dewasa pun menurutku tetap tidak akan bisa mengangkatnya sendiri, pasti butuh teman.
Walau sayap pesawatku yang kiri lebih pendek dari sayap yang kanan dan terbangnya ke atas lemari, aku tetap senang, bermain dengan pesawat buatanku sendiri. Masih bisa terbang ke langit-langit dengan sayapnya yang tidak sempurna.
“Ekhm..,”
Belum sempat aku mendapatkan pesawat terbangku, tiba-tiba suara laki-laki mengejutkanku, bangku yang kuinjak kini goyang, aku berusaha mencari pegangan, tetapi tak lama bangku yang kuinjak itu tak lagi bergoyang, kutolehkan ke bawah dan melihat sepasang mata tajam itu lagi, dia menahan bangkuku pakai tangan.
“Kamu bisa panggilkan Bibi kalau mau ambilkan sesuatu,” katanya serak.
Aku tertegun, di balik kedua matanya yang tajam itu, kulihat sorot kebencian, mungkin itu hanya perasaanku saja. Lantas dia pergi dari tempatnya berdiri, terpincang-pincang dengan alat penopangnya.
“Makasih, Del,” kataku pelan menunduk.
Kemudian aku turun dari bangku dan menarik bangku itu hingga berderit ke meja makan. Kemudian berlari ke ruang tengah mencari seseorang yang lebih tinggi untuk mengambilkan pesawatku.
Namun di saat ada Bibi Amerta, bulu kudukku meremang, tampaknya udara pada sore hari ini lebih dingin dibanding sebelumnya, atau karena suhu pendingin ruangannya ditambah.
Kulihat bayangan seorang anak laki-laki yang mengintip dari balik pintu, lalu dia menghilang. Setelah dia menghilang, pesawat mainanku telah terjatuh ke bawah. Menukik ke lantai.
Aneh, pikirku dalam hati, mungkin karena udara dingin yang tiba-tiba datang itu membuat mainanku terjatuh ke lantai, pun udara dinginnya kini sudah tidak terasa lagi.
Aku berjalan membawa pesawatku ke arah Bibi Amerta dan bertanya.
“Bibi, tadi merasakan dingin, engga?”