PERSETAN: PERJANJIAN MAMA

Wafa Nabila
Chapter #2

Soal Aku dan Ata

Beranjak SMA, aku tak pernah merasakan hal itu lagi selain melihat kelakuan aneh Delon dan juga Andromeda. Mereka berdua selalu bermain di dalam kamar setelah belajar bersama dengan benda elektroniknya, tinggal memilih siapa gurunya dari dalam alat tersebut, maka mereka akan belajar melalui gedget.

Lagipula aku diberitahu papa di meja makan, padahal realitanya aku tak pernah melihat Delon belajar bersama. Atau mendengar suara gaduh dari gadgetnya. Berbeda denganku yang tetap melanjutkan sekolah di sekolahan seperti remaja normal lainnya.

Delon sudah sembuh, tak lagi berkaki tiga atau berkaki pincang semenjak berumur tiga belas tahun. Mungkin karena memang dari awal keinginan Delon hanya tinggal di rumah bersama Andromeda.

Dan keanehan itu tampak saat ingin makan malam, setiap hari, aku jarang atau bahkan tak pernah melihat Delon makan bersamaku semeja, tak pernah mau makan bersama-sama selain di kamarnya sendiri, dibawakan oleh Bibi dengan sebuah penutup.

“Kamu hati-hati di rumah ya, sayang.” Kalimat papa setiap ingin pergi ke kota.

“Jaga bibi, kalau ada apa-apa telpon Papa.” Kalimat keduanya setelah basa-basi.

“Jangan telat makan, jangan lupa kerjakan tugas sekolah, setelah lulus, kita pindah.” Kalimat ketiga, sebelum mengecup keningku, suaranya lebih kecil, papa selalu menyelipkan suaranya di telinga, agar hanya kita berdua saja yang tahu.

“Papa, sayang kamu.”

Dan kalimat terakhir, berisi penjelasan yang berbentuk kasih sayang. Semuanya indah, jika kalimatnya bergunta ganti. Tapi tak pernah ada kalimat lain selain empat hal tersebut.

Aku juga selalu makan sendiri jika tak ada Mama maupun papa yang pulang. Hanya bersama bibi, tak ada yang lain lagi.

“Bibi, kalau ada apa-apa bilang aku ya,” kataku pada bibi.

“Papa bilang gitu, setiap mau pergi ke kota. Romantis ya Papa kalau lagi baik, tapi Papa engga pernah marah-marah semenjak dulu, Papa suka nurut sama Mama, dan mungkin Papa lagi masa-masa puber kaya zaman dulu, ya kan Bi,” tambahku dengan tersenyum.

Ada sirat tersendiri yang terlintas di mata bibi, dia mengerti, mengangguk, ikut tersenyum, dan satu fakta bahwa bibi melankolis. Ia menangis di hadapanku. Jika sudah menyangkut hal yang berbau papa, maupun masa lalu, Bi Amerta akan meluapkannya dengan menangis tersedu-sedu.

Aku tak pernah bertanya pada bibi kenapa Delon dan Andromeda tak ikut makan malam bersama. Karena aku tahu Delon masih sulit untuk kuajak bersama-sama, dia bersikap dingin, sementara Andromeda menjaganya. Aku berharap jika Delon kembali seperti semula, selalu hangat padaku.

“Hei!” pekik seseorang mengejutkanku yang sedang melamun di dalam kelas, kutolehkan wajahku ke arahnya yang ternyata Atta, laki-laki tinggi, berkulit cokelat berkat terbakar sinar matahari.

“Melamun aja, ke kantin yuk. Tadi Pak Janu bilang sama anak-anak, engga bisa ngajar. Lo pasti engga tahu kabarnya, kan?”

Aku terdiam, tak menganggukan kepala. Kepalaku terasa kosong, wajahku juga tanpa ekspresi, hanya datar.

“Lun ..., ada masalah apa sih? Muka lo jadi aneh, tapi engga jelek. Cuma aneh aja, kusut,” kata Atta yang masih berdiri di depan meja, menangkup kedua tangannya di atas meja.

Seragamnya lecak, tak dimasukan ke dalam celana dan kemeja tak dikancinginya. Rambutnya juga acak-acakan, basah, pelu keringat menetes. Sepertinya dia habis olahraga.

“Deluna,” panggilnya, membuatku mengedipkan mata cepat-cepat. Aku tergagap.

“Yuk, gue haus.”

Akhirnya kami jalan beriringan menuju kantin.

“Lo mau makan apa? Gue laper, eh iya, omong-omong dikit lagi lo ulang tahun, ya?” tanya Atta dengan matanya mencari tempat duduk, diraihnya tanganku dan dia membawaku untuk duduk di pojok barat kantin.

“Lo duduk di sini, gue pesan makanan dulu. Bakso? Syomai? Atau ah, iya. Kesukaan lo aja,” katanya yang langsung pergi tanpa menatapku.

Aku duduk di meja yang dipilihnya, menghadap ke arah lapangan. Nun jauh di sana banyak anak-anak basket sedang berusaha memasukan bola itu ke ring, mereka bermain di bawah terik matahari.

Artaka Seiji, ketua kelas di kelasku, dia juga ketua di tim basket. Dia teman sebangkuku dari hari pertama kami sekolah kelas satu. Dia juga selalu bercerita tentang basketnya, atau teman-teman segengannya, terlebih dengan sifatnya yang ramah bersahaja, suka menolong sampai satu sekolahan menyebutnya sebagai King Resquer.

Dia tiba dalam sepuluh menit, membawakan dua piring batagor dan dua air mineral botol di dalam plastik, Ata tahu aku senang dengan batagor.

“Ada masalah?” tanya Ata menyendok makanannya untuk masuk ke dalam mulut. Ata menatapku, tanpa memandang ke mana-mana. Dia serius.

“Engga ada.”

“Bohong. Dosa lho, Lun. Tahu karma ‘kan?”

“Ta, Luna engga mau bercanda,” kataku menghela napas.

“Gue juga engga mau bercanda, coba deh jangan di pendam gitu, gue juga tahu masalah lo engga jauh-jauh dari masalah keluarga,” jelasnya sambil sibuk menyuapi mulutnya dengan batagor.

“Ata udah tahu, kenapa tanya?”

“Minta kepastian aja. Kan engga enak jadi sok tahu gitu. Engga baik mendahului pikiran orang yang lagi banyak masalah. Lagipula, kasus tentang kekeluargaan itu engga pernah jauh-jauh. Lo ada, gue juga gitu. Jangan dipendam, sayang-sayang hidup lo cuma buat pendam beban sendiri,” jelasnya yang membuatku bungkam. Dia memang benar, tapi mungkin tidak seratus persen benar.

“Gue engga tahu kalau lo itu ternyata masih suka diem-dieman sama gue, kita udah kelas tiga, Lun. Tapi masih aja mirip orang asing,” katanya lagi, menaruh sendok itu di atas piring. Matanya penuh selidik.

Lihat selengkapnya