“Bi, yang ini jangan disatuin, nanti malam saya ingin membuatkan masakan untuk Luna. Dan dagingnya buat Delon dan Andro, ya?”
“Baik, Nyonya.”
“Satu lagi, jangan dipotong-potong,” kata Mama saat aku menyibakan rambut untuk dikuncir, Mama menoleh ke arahku yang baru bergabung. “Eh, Luna,” sapanya langsung memeluku hangat, aku tersenyum.
“Mama nanti malam mau buatkan kamu kari.”
“Wah, Luna mau.”
“Iya, Mama buatin spesial buat kamu, oiya, ulang tahun kamu yang ke tujuh belas Mama engga bisa rayain ya? Sebagai gantinya Luna mau apa?”
“Luna mau kasih sayang aja deh, Ma,” celetukku menatap wajah Mama yang terlihat membeku, tersirat penuh makna, Mama membetulkan letak duduknya lalu menyentuh kepalaku.
“Mama selalu sayang kamu kok, sama Delon juga, sama Andro juga.”
“Tapi Mama engga pernah kasih perhatian buat kita, Mama kerja terus, aku mau liburan bareng-bareng sama kalian.”
“Tapi Delon sama Andro engga bisa sayang.”
“Kenapa engga bisa? Delon masih engga suka sama aku? Ma, Delon sudah besar, masa mau marah sama aku terus, aku juga engga salah apa-apa, kenapa Delon benci aku?” tanyaku yang sekarang menuntut ke Mama.
“Delon sayang sama kamu, Lun, Delon engga pernah benci kamu,” kata Mama menghela napas panjang, kunciranku dilepaskan Mama, lalu Mama menyisirkan rambutku dengan tangannya sendiri.
“Delon engga pernah mau lakuin itu, Mama yakin, Delon sayang kamu, Luna. Begitu juga Andro, dia sayang kamu.”
“Mereka selalu berdua, seolah Luna ini bukan kembarannya Delon. Seolah Andro yang kembaran Delon. Mama, Luna mau main sama Delon, Papa juga, Mama juga. Pokoknya Luna kangen.”
“Mama juga kangen,” ucap Mama pelan, nada suaranya terdengar bergetar. Mama pasti ikut merasakan rindu, entah ada yang ditutup-tutupi Mama setelah kaki Delon patah beberapa tahun yang lalu. Aku pun mengangguk, tak melanjutkan kalimat keluhannya, karena tanpa sadar aku ikut melukai hati Mama.
“Yang banyak makannya, Lun, biar kamu itu gemuk. Sudah besar kok enggak gemuk-gemuk.”
“Mama juga, engga gemuk-gemuk.”
“Mama itu sudah takdir,” kata Mama terkekeh di tempat duduknya. Kami tengah makan malam, yang hanya di hadiri oleh aku, dan juga Mama. Tak ada Andromeda, tak ada Delonku yang dulu. Mereka tak mau duduk semeja.
“Haha, iya, deh Ma. Oiya, Ma, udah lama nih dari Luna kelas satu sma, teman-teman Luna tanyain. kalau misalkan nanti ulang tahun Luna, teman Luna mau dat ...,” Kalimatku langsung dipotong Mama dengan suaranya yang serak.
“Tidak boleh.” Aku membulatkan mata.
“Ma, tapi kalau teman Luna satu orang aja.”
“Tetap engga boleh.”
“Alasannya?” Kutanya dengan menggerakan alis. Mama menghela napas dan matanya menoleh ke arah salah satu pigura di ruang tengah. Dari ruang makan sampai ruang tengah tak ada dinding, semuanya terlihat, kontras aku ikut menoleh ke arah pigura lalu memandang Mama.