PERSETAN: PERJANJIAN MAMA

Wafa Nabila
Chapter #4

Ondel-ondel di rumahku

“Kamu kenapa sayang? Kok engga mau makan,” tanya Mama pagi ini. Dia memandang wajahku yang pucat, aku tak mau makan dan tak napsu makan. Wajahku pasti berantakan sekali pagi ini dengan seragamku yang acak-acakan. Tanpa dasi maupun topi.

“Kamu mimpi buruk?”

“Lebih dari buruk, Ma,” jeritku tiba-tiba. Suara langkah sendal terdengar dari atas tangga. Kami terdiam beberapa saat dan menoleh ke arah ruang tengah. Andromeda di sana, dengan membawa sebuah benda di tangannya. Dia tersenyum ke arahku. Mama tak menoleh ke arahnya, dia hanya menatapku.

Andromeda berbalik, dia berjalan ke arah ruang perapian dan menutup pintu. Kutolehkan kembali ke arah Mama.

“Aku ngeliat pocong kemarin, Ma. Banyak, ramai-ramai tertawa di ruang tengah. Apa aku setres, Ma?!” bisikku tertahan. Mama mendelik dan mengerutkan kening. “Ada yang jatuh dari atas atap, meliuk-liuk di atas lantai mirip ulat bulu. Apa aku gila, Ma?”

“Luna, kamu itu bermimpi sayang.”

“Kalau aku mimpi, aku engga akan diketemuin Bibi di ruang perapian, pingsan di lantai. Aku engga bohong, demi Tuhan! Kalau Mama engga percaya Luna, ada Tuhan yang percaya Luna.”

“Itu karena kamu kecapean sayang.”

“Terserah. Luna ngomong dengan perasaan Luna yang sejujurnya. Mama engga percaya?”

“Engga, Lun.” Aku menghela napas. Dengan sedikit menggeram yang tertahan. Mama sangat keras kepala. Kuambil tasku yang terselempang di bahu kursi. Kemudian aku pamit tanpa salam.

Berjalan ke arah ruang tengah dan mengamati satu persatu barang-barang di sana, lalu pergi ke luar dengan mengambil sepedaku yang baru tahun lalu dibelikan papa. Setiap tahun, papa mengadiahiku sepeda, mainan, baju, apa pun yang terlihat lucu. Semuanya dari kota, tak ada yang dari desa.

Percuma, tinggal di desa, kehidupan tak sesederhana desanya.

Di hadapanku kini Ata, dia membawa beberapa buku ke dalam kelas saat jam istirahat. Hanya untuk dirinya pribadi, tak untuk dibagi. Dia habiskan beberapa menit ke perpustakaan. Seperti biasa jika sudah ingin ulangan.

Dia akan sibuk membaca. Suara buku-buku itu terdengar menggebrak meja. Membuat beberapa pasang mata meliriknya lalu kembali ke aktivitas mereka yang sama-sama sibuk dengan contekan untuk nanti ulangan biologi.

“Ta, bisa geser sedikit? Buku kamu halangin buku catatannya,” kataku.

Ata langsung menggeser dan meminta maaf.

“Iya, engga apa-apa,” balasku pelan. Mataku kembali melihat buku catatan milik Ata.

Dia memang rajin untuk menulis kalimat-kalimat di papan tulis, hari ini aku sedang tidak napsu untuk menulis ulasan-ulasan rumus kimia milik Pak Jano.

Dan untungnya, Pak Jano sedang berbaik hati, tak memberikan tugas setelah minggu kemarin ulangannya yang menguras otak.

“Lo happy banget hari ini, Lun,” kata Ata bercanda. Aku hanya menggerakan alis tanpa berkomentar.

“Habis dapet duit, ya?” tanya Ata. Dia langsung mengangguk-angguk dan beroh. “Salah sangka gue, lo ternyata habis keracunan obat. Jangan lupa minum obat migren, Lun. Sama pakai balsem neneknya Ardan. Biar seger.”

Mau tak mau aku tertawa juga, Ata terkekeh dan langsung membuka bukunya.

“Kamu bisa banget buat orang ketawa, ya.”

“Ga apa-apa, sebelum tertawa itu dilarang dan diberi sangsi, lo gue suruh ketawa setiap hari. Engga perlu judesin gue, gue jadi sedih nih, Lun. Kan gue anak orang.”

“Siapa juga yang bilang anak burung,” kataku tertawa.

“Tadi lo yang bilang sih. Kalo gue anak burung, gue udah lepas dari kapan tahu ke pantai. Gausah pakek baju juga, ‘kan? Engga lucu dong, burung pakai baju.”

Lihat selengkapnya