PERSETAN: PERJANJIAN MAMA

Wafa Nabila
Chapter #5

Ata tahu Dia ada.

Kulihat pentulan tubuhku pagi ini di cermin sekolah, sebelum masuk kelas, pagi ini aku ke kamar mandi dengan mata beler dan agak berkantung hitam. Hidungku mampet sebelah, disumpel dengan tissue yang kugulung lalu kutaruh ke dalam hidung yang mampet.

Pikiranku meluncur membayangi tadi malam, sampai merinding bulu romaku ke setiap inci, aku bertanya-tanya kembali pada diriku sendiri apakah itu nyata, atau apakah itu mimpi karena saat pagi tiba, aku terbangun di atas ranjang dengan selimut yang mencapai leherku, gelas di atas meja nakas masih kosong. Lantas aku tak bisa mengatakan bahwa tadi malam nyata, kemungkinan terberat itu adalah mimpi burukku.

Suara desis seperti ular tiba-tiba menyadarkanku dari lamunan, aku langsung siap siaga, melihat ke sekeliling dengan pandangan memburu, mataku melotot tajam dengan membelakangi kaca, kedua tanganku berpangku pada meja. Tak ada siapa-siapa di sana, tapi suara desis itu terdengar begitu kentara.

“Ssss ....,”

Lama-lama suaranya terdengar begitu pelan dan hanya terdengar deruan napas. Kulirik ke arah meja panjang di belakangku, lantas napasku tertahan, aku seperti tertohok belati, mulutku terlalu kelu.

Sesosok hitam tengah berjongkok di atas meja kiri, memiliki tanduk seperti kambing, lidahnya menjulur ke bawah, menetes-neteskan air liur yang bewarna merah, kepalanya bergoyang-goyang ke sana-ke mari. Dalam kaca, bayangan gelap itu tak ada, hanya ada tubuhku yang menghimpit ke dinding sebelah kanan.

Pikiranku melintas ke sebuah ingatan di mana diriku masih berumur dua belas tahun, di dalam kamar yang sedang berbaring di atas ranjang. Bayangan itu menghantuiku hingga sekarang. Kuraih gagang pintu yang berada di sampingku, kemudian aku lari sekencang-kencangnya dari kamar mandi.

Lariku berakhir di sebuah lorong yang ramai, tampak siswa-siswi bercanda di seberang kanan dan kiri, tak melihatku yang sudah terguyur oleh keringat, mereka begitu asyik. Aku pun menegapkan tubuhku, perlahan merapikannya dan berjalan seperti biasa menuju kelas.

Ata melihatku bingung disandarkan tangannya ke atas bangku sambil terkekeh.

“Habis dari mana, Lun.”

“Kamar mandi,” jawabku manaruh tas di meja.

“Itu, ekhm ..., hidungnya masih ada,” katanya terpotong-potong, mungkin tidak enak mengatakan kalau di hidungku ada tisu tergulung, ah ya! Tisu.

Pantas, ada yang mentertawakanku tadi di atas tangga. Aku pun buru-buru melepaskan tisu, dan membuangnya ke bawah kolong mejaku. Atta tergelak di tempatnya.

“Makanya, kalau habis ngeliat setan tuh jangan lupa hidungnya dibenerin dulu,” ujar Atta yang membuatku menoleh, Atta menurunkan tawanya, menjadi sebuah senyuman.

“Kenapa?”

“Kok Ata tahu?”

“Tahu apa sih?”

“Tadi, Luna habis lihat hantu,” balasku, seketika Ata diam, tanpa ekspresi. “Ta, Luna lihat setannya serem banget. Ata tahu engga sih, Luna dua kali lihat dia. Lidahnya panjang warna merah, dia hitam legam kaya pakai areng.”

“Oh ..., biasanya, lo bakalan selalu diikuti kalau emang sering ditampaki, Lun. Apalagi hantunya itu-itu juga.”

“Ih, Ata!”

“Bercanda,” balas Ata tersenyum. “Tapi, kalau ada apa-apa bilang gue, ya.”

“Ata kaya Papa aja ngomongnya.”

“Kan, calon,” kata Ata menaikan kedua alisnya seperti biasa. Aku menepuk jidat.

“Genit, Ta. Eh, Ta. Luna juga mau cerita.”

“Soal? Hantu lagi.”

“Iya,” kataku panjang. Menetralkan napasku perlahan, masih agak bergetar saat aku duduk di bangku. Mungkin wajahku terlihat pucat pasi.

“Walaupun kita duduk semeja, kayanya kita engga pernah cerita-cerita ya, Lun. Kaya orang asing,” kata Ata sadar. Aku juga merasa hal yang sama.

Lihat selengkapnya