Ata atau yang bernama lengkap Artaka Seiji Nata Darwin, seperti halnya orang-orang lain tahu, memiliki banyak wawasan, simpelnya dia tak pernah memperpanjang hal atau masalah terhadap siapa pun, dia bebas, cendrung ramah, namun kali ini laki-laki itu bersikap aneh saat bersamaku, akhir-akhir ini dia over protect, apalagi saat aku ingin ke toilet di jam pelajaran, Ata juga ikutan izin.
Dia tak ingin melewatkan satu detik jauh dariku, saat kutanya kenapa, jawabannya begitu simple: lo perlu king resque.
Aneh, terasa lebih kurang manusiawi jika setiap hari Ata selalu ikut campur, apalagi saat ada tugas berkelompok, Ata memilih untuk bertukar tempat dalam grup. Saat teman-teman basketnya menyuruh Atta ikutan main, dia tidak ingin, lebih memilih pergi ke kantin mengajakku makan.
“Ada apa sih, Ta?” tanyaku di hari sabtu, kami akan pergi ke arah studio sekarang. Ata mengikutiku dari belakang, atau kalau perlu dia mirip bodyguardku sekarang. Orang-orang saat ingin bertanya padaku pun harus melewati Atta dulu, itu konyol.
“Apa ada apanya sih, Lun?”
“Kamu aneh.”
“Gue tahu apa yang lo pikir, Lun.”
“Sekali aja, kenapa sih, Ta. Engga ikut campur. Atau kasih tahu aku alasannya apa? Engga lucu anak-anak yang mau ngobrol sama aku harus ada pengganggunya.”
“Ya emang engga ada alasannya, Lun. Gue cuma mau ikut lo aja.”
“Itu namanya ikut campur.”
“Engga apa-apa, ‘kan? Teman. Oiya, lo boleh ke luar rumah engga?”
“Boleh.”
“Setelah pulang sekolah, ikut gue, yuk.”
“Ke mana?”
“Dokter sakit jiwa!” katanya, aku menghela napas lelah. Memutar kedua mataku.
“Engga lucu!” kesalku. Dia nyengir.
“Yang jelas, mau ikut engga?”
“Kalau bertujuan positif sih engga apa-apa.”
“Positif kok.”
“Ya, tapi aku tanya sama kamu, kenapa kamu protect banget sama aku? Sementara orang-orang anggap kita jadi kaya dua anak insan yang ...”
“Gue udah tahu, udah ngerti pikiran buntu mereka, kalau engga dibilang pacaran, ya kawin. Lo jangan nangis gitu, ya.
“Seiji!” kesalku bernada panjang di lorong yang sepi, jalan kami lantas terhenti.