Di tempat ini, Ata membawaku, kami di sebuah kampung yang jauh dari sekolah, nama kampungnya Sloken. Dan kami berdiri di sebuah rumah tua berkeramik pucat, dindingnya juga ikut pucat. Jendelanya ditutupi tralis kotak persegi, tumbuhan hijau telah menjalar di depan halamannya, dan cukup sepi.
“Yakin? Kok angker gini.”
“Yakin, Lun, tapi biasanya beliau ke masjid. Sering ikut pengajian. Kalau jam segini pasti beliau udah di rumah,” kata Ata mencoba meyakinkanku. Kami akhirnya masuk ke dalam halaman rumah putih pucat itu, dengan perasaan ragu dan was-was aku melangkah. Namun entah dengan kekuatan apa, aku terpelanting beberapa meter dan jatuh ke tanah.
Wussshh!
Bruuughhhh ...
Ata terkejut, dia berlari ke arahku dan langsung mengangkatku berdiri.
Rasanya, ada sesuatu yang mengganjal di permukaan perutku, ingin muntah.
“Lo baik-baik aja?”
“Iya, Luna oke. Ta, kok Luna engga bisa masuk?”
“Gue juga engga ngerti, coba lo pegang gue. Kita masuk bareng-bareng,” ucap Ata mencengkram tanganku dengan erat. Kami berjalan kembali ke halaman rumah tadi, beriringan, menapak sama-sama.
Sampai ternyata tubuhku terpelanting kembali, terlepas dari pergelangan Ata. Ata juga ikut terbanting ke belakang saat tubuhku dengan tiba-tiba tak bisa memaksa memasuki halaman rumah milik Pak Sujiwo.
Kata Ata saat di perjalanan, Pak Sujiwo adalah pemuka agama yang taat, mungkin bisa membantuku untuk meluruskan segala masalahku, tapi mungkin juga tidak.
Karena ternyata ada kekuatan aneh yang membuatku tidak bisa menyebrangi rumahnya, juga perasaan was-was yang mampu membuatku terbebani. Aku rasa ketakutan itu datang, lebih besar, lebih kuat, mengosongkan pikiranku yang biasa penuh. Seperti sebuah gelas yang terisi oleh air, namun air itu menjadi warna hitam, keruh, terbuang-buang.
Dalam tubuh, begitu ngilu, panas serta begitu kaku, terasa air mengalir dalam mulutku yang terkatup rapat-rapat, Atta memapahku ke dekat pagar.
“Lun, elo berdarah,” katanya yang tersadar. Dia buru-buru mencari sebuah benda dari dalam tasnya, kemudian memberikannya padaku.
“Sori, gue engga ada tisu, adanya lap biasa buat main basket,” ucapnya. Aku tersenyum memaklumi, kuelap bibirku yang mengeluarkan darah, ulu hatiku terasa habis dipukul palu godam, nyut-nyutan, ngilu. Lagipula seperti tertiban durian.
Suara napas Ata terdengar memburu, dia menyentuh pundakku dan mengusapnya.
“Lo dikuasain sama makhluk itu,” katanya yang membuatku terpekik. “Menurut gue, elo engga akan bisa masuk sebelum lo di rukiah.”
“Rukiah?”
“Iya, seenggaknya, buat jiwa lo bersih. Kita engga bisa masuk ke sana, Lun. Elo dicegah ke sana. Dan gue merasa, kita bakalan sia-sia. Sama aja sakitin tubuh lo untuk berusaha ke sana. Sebaiknya kita pulang, gue anter lo pulang.”
Aku ragu untuk pulang, masih merasa ingin masuk ke dalam halaman rumah Pak Sujiwo, tapi jalanku terhalangi oleh sesuatu yang membuatku tak bisa masuk, dia yang tak terlihat. Bagaimanapun Ata benar, ini akan sia-sia, dan membuatku lelah sendiri.
Akhirnya aku mengangguk dan memahami situasi, dipapahnya tubuhku untuk jalan pulang ke rumah, dalam perjalanan aku terbatuk-batuk karena napasku terasa sempit, ikut remuk seluruh tubuhku. Aku benar-benar butuh istirahat.
“Ta, di rukiah itu sakit engga?” kutanya di saat kami hampir menuju halaman rumahku, Ata melirik.
“Engga tahu, gue belum pernah di rukiah. Tapi menurut orang-orang, itu bakalan sembuhin jiwa yang disukai setan. Mungkin di rumah lo ada, Lun. Karena dalam mata gue, akhir-akhir ini elo diikutin makhluk hitam itu.”
“Ata tahu?”
“Tahu, gue bisa melihat.”
Seketika jalanku terhenti, aku menoleh ke arah Ata.
“Jadi,” kataku pelan.
Ata memotongnya.
“Gue berusaha lindungi elo dari makhluk itu, elo inget engga saat gue tiba-tiba kaget di tempat duduk, sampai berdiri ketakutan. Itu gue lihat dengan jelas kalau makhluk hitamnya muncul ikut duduk di sebelah lo. Lidahnya panjang, warna merah. Dan apa yang elo rasain, gue juga bisa ngerasain itu.”
Hening, aku tak mengatakan apa-apa lagi setelah Ata berkata, dia tersenyum mengacak rambutku, mengatakan pamit, lalu pergi. Ata sebenarnya tahu, tentang apa yang kulihat, buktinya dia selalu menjagaku ke mana-mana.