PERSETAN: PERJANJIAN MAMA

Wafa Nabila
Chapter #8

Kesurupan

“Selama seminggu Papa di rumah,” kata papa di tengah-tengah kami sedang makan malam, ada Mama di sebelahnya.

Aku beberapa jarak dari mereka karena aku merasa canggung, Bi Amerta seperti biasa, tengah menghidangkan makanan untuk kami. Mengitari meja. Saat Bi Amerta menyendoki nasi ke dalam piringku, tanganku terulur memberhentikan aktivitasnya.

Aku berdiri dari duduk kemudian membukakan satu bangku sampai bangku itu berderit. Membuat Mama dan papa menoleh ke arahku.

“Bi, duduk di sini, kita makan ramai-ramai.”

“Tapi, Non. Jangan,” kata bibi. Aku menggeleng. Menyuruh Bi Amerta untuk ikut makan di meja dengan kami.

Sudah tujuh belas tahunan Bi Amerta mengabdi, mengapa masih malu dan takut untuk makan bersama kami, lagi pula Delon dan Andromeda tak akan mungkin ikut bersama kami di meja. Aku bosan.

“Ini perintah, Bi. Aku mau kita makan sama-sama. Aku ingin ramai.”

Pandangan mata papa tergerak ke arahku, dia menaikan alisnya. “Boleh, kan Pa?” tanyaku membuat papa tersentak dan mengangguk.

“Boleh.”

“Tuh, Bibi makan di sini. Ayo,” aku tersenyum memandang bibi, mata Bi Amerta berkaca-kaca, dengan ragu bibi duduk di sampingku.

Kupeluk bahu bibi kemudian membukakan piringnya. Sekarang, inilah giliranku, membuatkan bibi hidangan. Bibi hanya diam menunduk, memandang kuku-kukunya.

“Jangan malu-malu, Bi. Oiya, Bibi, waktu itu pernah cerita ya, tentang anak Bibi yang namanya Dimas, kenapa engga suruh ke sini aja. Biar rumah engga terlalu sepi. Kamar di sini ‘kan banyak.”

Mama langsung memandangku dengan mengerutkan kening.

“Luna,” katanya yang terdengar tegas.

Aku tak mendengarkan.

“Kalau misalkan Bibi di rumah sendirian, kan ada Dimas jadinya.”

“Deluna!” teriak Mama. Membuat pandanganku menoleh ke arah Mama. Aku menaikan satu alisku, bermaksud bertanya ada apa. Mama memandangku dengan tatapan tajam.

“Tidak boleh ada orang lain di rumah ini kecuali kamu, Mama, Papa, Delon, Andro, dan Bibi!” teriak Mama. Papa menjatuhkan garpu dan sendoknya di atas piring, dia ikut memandangku tanpa berkata apa-apa.

“Kenapa? Karna Delon engga suka? Engga suka keramaian? Ma! Pa! Delon itu sudah besar, dia bisa jalan sendiri seperti biasa. Kalian engga pernah mau ngertiin aku, anak kalian itu cuma Delon sama Andro! Aku engga pernah kalian perhatiin.”

“Luna!”

“Apa sih, Ma? Aku cuma bilang yang sejujurnya aja kok. Kenapa kalau aku membuat kegaduhan? Kenapa rumah ini engga pernah buat aku nyaman, engga pernah buat aku bahagia lagi kaya dulu. Dan rumah ini lebih mencerminkan, kuburan!” jeritku dengan lantang.

“Apa pun yang kalian lakukan, itu sudah basi! Memberikan aku kado, membelikanku baju dari kota, atau segala sesuatu tentang hadiah, itu basi. Aku, mau, ramai!”

Kesal dengan seluruh orang-orang di rumah yang tidak pernah mau mengerti keinginanku. Aku juga ingin, rumah ini seperti biasa. Ingin setiap pulang sekolah ada Delon di depan rumah menyambutku, ada Andromeda yang ikut di sampingnya. Atau ada teman-temanku semuanya ke rumah, tak diam-diam seperti ini.

Aku kecewa.

Lantas aku berdiri dari mejaku, menggeram memandang Mama dan papa yang tak melakukan apa-apa selain diam. kudorong dengan kasar kursi itu hingga kursinya terjungkal ke belakang. Aku pergi, berlari dari meja makan.

Tanpa aku di sana pun akan sama saja. Sepi.


Lihat selengkapnya