“Hei, udah bangun,” sapa sebuah suara, aku menatap langit-langit kamar, sayup-sayup terdengar dentingan gelas dan juga sendok yang menyatu. Ini bukan kamar, bukan rumah, kutolehkan ke arah kiri, melihat punggung seorang laki-laki yang tengah menghadap ke jendela. Dia Ata, aku kenal suara seraknya.
Tak bisa kugerakan seluruh tubuhku, rasanya masih sama, nyeri, pegal-pegal, untuk tersenyum saja mulutku kaku. Atta melirik, dia tersenyum membawakanku teh hangat di tangannya, dia menaruh di atas meja nakas.
“Jangan banyak gerak dulu, elo masih butuh istirahat,” perintah Ata. Dia duduk di kursi, kedua tangannya disatukan ke atas tepi ranjang. Wajahnya terlihat segar sekarang.
“Gue, bolos, eheh.” Ata nyengir.
“Tapi gue bilang, gue masih ngerasa sakit, emang masih sakit di ulu hati,” tambahnya mengusap dada.
Jeda sebentar, Ata menghembuskan napasnya berat-berat, lalu mulai bercerita.
“Tadi, pas gue lagi lemah, hampir mau pingsan dan langsung dibawa ke uks, ternyata ada sebuah bayangan hitam yang tiba-tiba ikut masuk melayang dan berhenti tepat di dada gue saat gue di atas ranjang. Bayangan itu seketika berubah jadi hantu hitam berlidah merah, dia berjongkok di atas tubuh gue langsung mencekik gue.” Mataku membulat.
“Sebelumnya juga sama. Setelah gue bawa elo ke rumah Pak Sujiwo, gue merasa diikuti, dan dalam dua hari itu, gue selalu mimpi kalau tubuh gue dikrangkeng di dalam besi panas. Mungkin setan itu engga suka kalau gue dekat sama elo, Lun.”
“Buktinya gue diganggu dan hampir mau dibunuh sama itu setan. Tapi gue engga percaya kalau ternyata, tubuh elo juga ikut kena, elo ikut kesurupan.”
Ata tersenyum, namun tidak lama, kerutan di wajahnya menghilang, datar. Dalam mata Ata tersirat begitu pilu, jatuh, kosong.
“Tapi, hantu itu engga akan menyerah, Lun. Dia tetap ikutin elo ke mana pun. Satu-satunya yang harus di selamatin itu kayanya rumah elo. Dan keluarga elo yang lain.”
Aku menggeleng,
“Kenapa?” tanya Ata.
“Lun ...,” suaraku tercekat. Kerongkonganku terasa perih.
“Luna engga bisa.”
“Engga bisa kenapa, Lun? Ini demi keselamatan elo, keluarga lo.”
“Mama melarang bawa orang ke rumah.”
Ata diam, kerutan pada dahinya seketika menampak, urat-uratnya pun ikut terlihat menjalar di lehernya. Suara bel berdering terdengar samar-samar dari luar, kemudian suara orang-orang bercanda serempak terdengar. Kini bel istirahat.
“Semenjak Delon sakit, rumah menjadi sepi, engga ada siapa pun yang boleh masuk kecuali Mama, Papa, Bibi, Delon, Andro dan aku. Delon benci keramaian, dia trauma.”
“Apa selama itu? Dari umur kalian delapan tahun, ‘kan?” Aku mengangguk.
“Umur segitu itu engga akan punya dendam yang bertahan hingga sekarang. Jujur, gue aneh sama keluarga elo, Lun. Buat menghidupi rumah pun elo kaya lagi latihan militer. Banyak izinnya segala, gue rasa yang salah itu bukan rumah elo, tapi dari keluarga elo sendiri.”
“Aku juga merasa aneh. Umur aku hampir tujuh belas tahun, Ta. Tapi rasanya, saat umur aku tambah tua, kejadian-kejadian yang engga pernah aku mau, selalu muncul di rumah.”
“Tuh ...,” kata Ata menjentikan tangannya.
“Kemarin hari sabtu, setelah Ata pamit, di rumah ada kejadian yang aneh.” Aku mulai ikut bercerita.
“Pintu yang selalu Mama kunci, itu terbuka lagi, di sana ada Delon. Tapi tiba-tiba pintu itu tertutup dengan berdebum keras. Aku gedor pintunya dengan kencang. Tapi Ta, Delon ternyata ada di belakang aku, dia tepuk bahu aku.”
“Setelah Delon pergi, kejadian itu muncul kembali. Pintu itu kembali terbuka, dan ada suara anak kecil yang tiba-tiba panggil aku.”
“Suara anak kecil?”
“Iya, laki-laki. Dia memanggil aku, Luna ..., dan mengatakan satu kata yang membuatku aneh. Kunci.”
“Kunci,” ulang Ata seolah berpikir.
“Mungkin dia minta kunci pintu itu, atau mungkin nyuruh elo buka pintu itu, mau tunjukin sesuatu di dalamnya.”
“Bisa jadi, aku juga rasa begitu, tapi pas kutanya Bibi, dia engga jawab. Dia bungkam.”