Degh ....
Degh ....
Degh ....
Detak jantungku terasa begitu pelan, namun benar-benar terasa sampai ke tanganku. Perasaanku tidak mengenakan, papa masih diam tak mengeluarkan suaranya, begitu pun Ata yang menarik napasnya berkali-kali.
Kami memasuki rumah sakit, dengan papa yang berjalan ke arah resepsionis. Dia hanya memberikan kartu nama dan selebihnya resepsionis itu mengangguk. Kami pun pergi ke arah lift, papa menekan tombol tujuh. Maka tujuan kami adalah lantai yang lumayan jauh.
Di dalam lift, kami sama sekali tidak ada pembicaraan, sampai lift terbuka lebar pun papa masih sibuk dengan pemikirannya. Papa menariku kembali, kami berjalan di lorong, dengan Atta di belakangku. Atta hanya bisa tersenyum dan menganggukan kepalanya.
Mulutnya berkata walau tanpa suara.
“Lo baik-baik, ya. Gue di sini. Kalau ada apa-apa, panggil gue. Gue siap buat lo, Luna.”
Di saat papa membuka pintu salah satu ruangan, Ata berhenti mengikuti kami, dia tersenyum hangat, dan melambaikan tangannya seolah kami tidak bertemu kembali. Ata di luar, pintu sudah tertutup rapat. Aku menoleh ke arah papa yang masih menggenggam tanganku.
Di depan kami sudah ada seorang dokter laki-laki yang sudah menua, dia sedang bersama berkas-berkas pasiennya. Papa menjabat tangan dokter itu sambil memeluk bahuku.
“Perkenalkan, dok. Anak saya, Deluna Malivat.”
Dokternya langsung memakai kaca mata, dan melihat wajahku, dia tak berkedip beberapa detik kemudian berdiri dari tempat duduknya.
“Hanggara,” kata dokternya.
Aku mengangguk. Kami langsung di persilakan duduk oleh dokternya. Akhirnya aku duduk di sebelah papa. Papa berbicara seputar keadaan dan membicarakan masalah-masalah sepele. Sampai tiba saatnya papa menanyakan berkas.
Jantungku merasa terhantam.
“Anak saya ingin berbicara dengan anda, berdua.”
Aku terhenyak, papa mengatakannya secara mendadak, padahal aku pun tidak mengerti, tak mengenal dokter di hadapanku ini, kami tak pernah saling bertemu.
Dokter itu paham, dia langsung mencari berkas-berkasnya. Papa bangkit dan menepuk pundakku. Dia mencium pipiku dengan sayang, lalu berbisik.
“Papa di luar, ya.”
Air mata papa tetiba menggenang dengan sendirinya. Dia berdiri dengan tegap, mengelapnya dan mulai meninggalkanku yang masih bingung di tempatku duduk saat ini.
Dokter itu berdehem saat papa sudah menghilang, aku segera menoleh ke arah dokter yang bernama Hanggara itu.
“Deluna,” panggilnya.