PERSETAN: PERJANJIAN MAMA

Wafa Nabila
Chapter #12

Kesedihanku dan Ata

Aku berjalan ke arah ruang tengah, melihat mereka tertidur dengan jarak dan masing-masing keinginan mereka. Menghangatkan tubuh mereka dari dingin yang menusuk ke tulang.

Kuselimuti Ata yang meringkuk, dia tak memakai apa-apa selain baju, celana pendek milik papa dan juga bantal. Aku tersenyum menatap Ata, dia mirip anak-anak.

Kuselimutkan sampai ke lehernya, Atta terkejut. Dia langsung membuka matanya lamat-lamat dan memandangku. Wajahnya terlihat lelah.

Aku teringat saat Ata membawa motor itu ngebut ke kota. Dia pasti sangat lelah membawa motornya. Pegal-pegal dan nyeri pundaknya menahan beban.

Ata bangun dari tidurannya. Dia mengucek kedua matanya sebelum melayangkan senyum.

“Kok bangun? Lun, besok ...,” ucap Ata terhenti, kutaruh telunjukku di mulutnya, dan menggeleng. Mataku begitu sembab.

“Aku engga bisa tidur.”

“Lo harus tidur, Luna.”

“Luna, takut, Ta.”

“Jangan takut, lo sama gue. Ke mana pun lo pergi, gue akan ada di samping lo, Lun. Gue, janji.”

“Kalau Luna mati, Ta.”

“Apaan sih, omongan lo ngaco malam-malam begini.”

“Ta, bukan masalah omongan Luna ngaco, Luna tahu kok, Luna ini jadi tumbalnya,” kataku yang mulai duduk di sebelah Ata. Ata mengerutkan kening bingung, tampak terlihat lucu.

“Aku baru sadar, Ta. Mama sayang banget sama Delon. Mama mengorbankan apa pun demi Delon hidup.” Aku menghela napas.

“Mama ..., mengorbankan aku dan menukarkan aku dengan Delon, Ta.”

“Nyokap lo juga sayang banget lo Lun, bukan menukar lo jadi tumbal. Udah lo mending tidur lagi, jangan ngomong ngalor ngidul, gue engga suka dengarnya.”

“Dengar apa?”

“Dengar kalimat yang engga jelas, udah deh jangan buat gue benci, Lun.”

“Ata benci Luna?”

Ata seketika menoleh ke arahku, dia matapku tajam. Air mataku sudah menggenang, perlahan turun ke permukaan dan jatuh di pipi Atta. Ada napas lain yang begitu dekat, hangat. Hanya beberapa detik napas itu terasa tanpa jarak.

Perlahan Ata menjauh, dia menatapku, lagi.

Apa maksudnya ini?

Ata memandangku begitu dalam, sedalam lautan yang begitu gelap namun indah. Wajahnya betul-betul dekat sehingga rasanya aku tak menyangka Ata dapat melakukan hal itu padaku. Manis rasa bibirnya.

“Gue sayang lo, Lun. Bukan benci,” katanya. Menghapus air mataku, dan juga mengelap bibirku.

“Mending lo tidur, gih.” Ata bangkit berdiri mengambil lenganku untuk segera berdiri. Membawaku ke dalam dan menyelimutiku sampai ke leher. Dia tersenyum.

Lihat selengkapnya