Waktu Ata menjagaku, ada prihal yang tidak pernah kuingat setiap kali mulutnya bercerita; tentang jati dirinya. Padahal satu persatu Atta sama-sama mengeluarkan kesedihannya yang telah tercipta saat kami bercanda. Diteguknya segala kesakitan, ditelannya sendirian. Dia berjalan di barisan paling depan, menjadi sosok perisai menakutkan.
Pada dasarnya, manusia memiliki banyak dosa. Tak ada yang istimewa. Segala kesempurnaan datang karena dilengkapi rasa tanggung jawab.
Ada tugas yang diberikan Tuhan untuk segala sesuatu yang diciptakanNya. Salah satunya saling menjaga, kasih sayang pun wujud pertama yang didasari oleh naluri manusia.
Tergantung situasi dan kondisi fisiknya yang lemah, atau tidak berdaya. Tak ada yang ingin menjadi anak sebatang kara, semua pasti sama, ingin rasa cinta, pelukan hangat, meringkuk, menggeliat di dalam gendongan seorang ibu, dan merasakan napas panas yang menghangatkan suhu tubuh mungil yang telanjang.
Namun sayangnya seluruh beban hidup telah tertulis dalam takdir semua anak.
Air mataku mengering, dipelukan papa. Kami sampai di desa beberapa jam kemudian. Sudah berdiri di sebuah rumah yang pernah kuketahui bahwa kiyai yang dimaksud Ata adalah Pak Sujiwo. Ata menaruh helmnya dan berjalan ke halaman rumah Pak Sujiwo sendirian.
Kami berniat untuk bertamu, bercerita mengenai rumah, Mama, dan keluarga kami. Pak Sujiwo keluar dengan tasbih yang berada di tangannya, beliau memakai baju putih, bersarung dan juga dengan sorban yang berada di dadanya. Kepalanya memakai peci.
“Wa’alaikum salam, Artaka,” kata Pak Sujiwo. Beliau memanggil Ata dengan nama aslinya. Atta sepertinya sangat akrab dengannya. Sampai mereka berpelukan seperti saudara.
“Pak Kiyai, ada yang ingin bertemu. Pak Rezky dan anaknya,” ujar Ata sembari menunjuk padaku dengan jempolnya. Pak Sujiwo langsung mengangguk, kemudian menyuruh kami masuk. Namun sayangnya aku masih teringat dengan kejadian waktu Ata membawaku ke sini, aku terpelanting jauh. Aku pun menggeleng pada Ata, dia juga melihatku. Tahu maksud apa yang kukatakan.
Ata langsung menoleh ke Pak Sujiwo dan berbicara pelan-pelan. Setelah selesai menjelaskan, Pak Sujiwo memandang tubuhku dan juga papa yang masih berdiri di depan pagar halaman. Pak sujiwo akhirnya berjalan ke arah kami dan langsung menyalami papa.
“Rezky,” kata papa saat bersalaman, aku merasakan jika papa terkejut saat sedang bersalaman. Papa tak berkedip juga terdiam.
“Sujiwo,” kata Pak Sujiwo. Mereka selesai bersalaman. Agak gemetar papa menopang tubuhku dipelukannya.
“Waktu itu saya pernah diceritakan tentang Nak Deluna,” ucap Pak Sujiwo. “Dari Arta, katanya kalian ke rumah ingin bertemu dengan saya.” Aku mengangguk, melepaskan pelukan papa.
“Iya, saya dan Ata—maksud saya Artaka, pergi ke rumah Bapak. Tapi saya tidak bisa memasuki perkarangan rumah Bapak, ada hal yang aneh dalam diri saya.”
“Bisa kita bicarakan di rumah saya?”
“Tapi saya tidak bisa memasuki rumah Bapak.”
“Bismillah,” kata Pak Sujiwo. Beliau berjalan ke arah halamannya terlebih dulu. Ata sudah menganggukan kepala, munyuruhku untuk memasuki halaman.
“Ayo, Om, Lun,” ujar Ata. Papa berkedip, lalu mengangguk berjalan mengikuti Ata. Mereka mulai melangkah memasuki perkarangan dan papa berhasil menapakinya, tak ada yang terjadi. Beliau terlihat begitu santai. Aku langsung membuka mulutku, tak percaya.
Apa mungkin kekuatan yang tak kasat mata itu hanya melekat pada diriku, kupikir-pikir terlebih dulu untuk memasuki halaman rumah milik Pak Sujiwo, aku hanya takut terpelanting kembali seperti yang sebelumnya.