Pak Sujiwo berdiri di depan kami, menatap bangunan megah yang kusebut selama ini rumah. Rumah tua yang terarsir bangunan Belanda.
Dulu papa membelinya karena mama ingin hidup anak-anaknya tak terlalu ikut anak zaman seperti di kota. Jauh dari asap kenalpot, jauh dari kopaja. Hanya berbekal sepeda cukup untuk keliling desa.
Mama senang sekali memiliki dua anak yang ternyata kembar. Membesarkan aku dan Delon dengan penuh kasih sayang. Menimangku bergantian. Sampai mama kerepotan untuk menjaga kami yang pecicilan dan suka cengeng. Akhirnya Mama mencari seorang pembantu, dan jatuh hati pada sosok tangguh Amerta, yang sekarang kupanggil dengan sebutan bibi.
Dari keluarga mama maupun papa tak pernah ada yang menengok kami, padahal Mama yakin sekali mereka akan menengok kami di desa. Namun setelah tahu fakta bahwa saudara mama tak pernah datang karena tak menyukai desa, tak menyukai yang berbau kampung, persawahan, Mama tak pernah mengundang mereka. Sementara keluarga papa lebih banyak tinggal di luar negeri dan tak pernah pulang ke negeri miliknya sendiri.
Menyedihkan.
Kami tinggal berlima di desa yang indah. Sangat indah ditumbuhi banyak bunga. Mama setiap hari menanam bunga, sampai sejauh ini banyak yang menyukainya karena bunga itu menghasilkan rumahku bewarna, banyak kupu-kupunya.
Aku suka kupu-kupu bersayap merah indah bercampur kuning biru maupun hitam mendominasi. Mama suka bertopi di siang hari, duduk di lantai dan melihat bunga-bunganya yang mekar. Papa suka berkuda, selalu membawaku ke tempat yang tidak jauh dari rumah, peternakan kuda-kuda miliknya.
Aku diajarkan papa berkuda bersama Delon. Delon tidak takut dengan kuda, dia hanya takut ketinggian. Mau ikut berkuda pun dia tegang, karena kudanya begitu tinggi, menjauhkan dirinya dari tanah. Aku? Sibuk mentertawakannya. Dia berang dan menjahiliku dengan membawakan salah satu yang kubenci; ulat pisang. Dia tertawa girang sampai terkikik-kikik saking lucunya.
Sayangnya semuanya lenyap. Di sini tak ada kupu-kupu. Tak ada bunga yang bermekaran. Layu. Mati. Di sini juga tak ada kebersamaan, tak ada keindahan, hanya ada kehampaan. Kosong.
Aku ikut manatap ke sekeliling halaman rumahku yang benar-benar kering kerontang, tak ada kehidupan. Ternyata aku hidup dengan kepura-puraan. Di sini tak begitu senang. Kuikuti mereka yang ingin berjalan ke dalam. Papa di samping Pak Sujiwo. Aku dan Ata beriringan, bergandengan. Tangan Ata sangat hangat.
“Di sini ada banyak jiwa,” kata Pak Sujiwo. Tangannya memegang tasbih, dia berjalan dengan perlahan-lahan.
“Banyak jiwa yang terkurung.”
“Apa saya perlu panggilkan ambulan dan juga polisi ke sini, Pak Kiyai?”
“Boleh, untuk membawa jenazah anakmu,” balas Pak Sujiwo. Papa mengambil ponselnya dan berjalan menjauh dari kami. Aku masih tetap ikut berjalan di belakang Pak Sujiwo bersama Ata.
Kami mencapai lantai marmer depan pintu rumah, ada hawa yang panas sewaktu kami melangkah. Pak Sujiwo tengah melantunkan ayat kursi.
Tiba-tiba suara teriak kesakitan terdengar dari dalam rumahku. Suara milik mama. Aku segera memegang grendel pintu, dan membuka pintunya. Di dalam sana Delon berdiri di tengah ruangan bersama Andromeda. Mereka sedang menatap ke langit-langit atap, yang ternyata mama ada di atas sana, melayang.
“Tolong ...,” kata mama tercekat.
“Mama!” teriakku. Wajah mama terangkat ke atas, dia tak bisa melihat ke arah kami. Tubuhnya terkunci. Kaku.
Andromeda menoleh ke arah kami, matanya melotot tajam. Seluruh kaca bergetar dan juga barang-barang yang ada di ruang tengah bergoyang-goyang.
Sulit, kami masuk ke dalam rumah. Kulihat Pak Sujiwo berat membuka mata, karena di ruangan ini tiba-tiba berhembus pusaran angin sampai membuat angin itu membawa barang-barang kecil terangkat.
“Kau berbohong!” Delon bersuara berat mirip suara yang pernah kudengar di ruang perapian, berbicara pada mama di atas sana. “Manusia lain kau bawa ke rumah ini. Kau mengingkari janji sebelum Luna genap tujuh belas tahun!” teriaknya lagi.
“Jangan kamu sakiti orang itu,” ucap Pak Sujiwo di sela-sela melantunkan surahnya. Pak Sujiwo semakin berani.
“Jangan ikut campur kau manusia!” balas Delon menoleh ke arah Pak Sujiwo, angin berhembus ke arah Pak Sujiwo, membentuk sebuah pusaran kurungan.
Namun tak berhasil membuat Pak Sujiwo berada di dalamnya, dia di selamatkan oleh bacaan yang pernah kudengar sebelumnya dari mulut Fauzan. Surah Al jin.
Beliau berjalan ke arah ruang tengah tanpa takut terkena benda-benda yang beterbangan. Delon berhenti menatap ke atas langit, seketika Mama terjatuh ke bawah dengan kepalanya terbentur meja.
Aku teriak memandang mama tersungkur di sana. Tanganku digenggam Ata, dia tak ingin aku pergi mengambil mama.
“Bahaya,” kata Ata. Aku terisak dengan punggung tangan menutup mulutku. Mama di sana kesakitan, kepalanya berdarah.
“Tapi, Mama, Ta,” ucapku meringis. Ata menggeleng, tak melepaskan cengkramannya pada tanganku. Aku dicegah.
Pak Sujiwo masih berjalan pelan-pelan ke ruang tengah, dengan rapalan dan bacaannya yang keluar dari mulut. Andromeda tiba-tiba terbang ke atas langit. Dia berdiri di lantai dua.
Aku terkejut bukan main melihat Andromeda tiba-tiba terbang. Sementara Delon berjongkok, kedua tangannya mencapai lantai, dia menggeram, berlari dengan kedua kaki dan tangan mirip hewan. Merayap ke dinding seperti cicak.
“Keluar dari sini!” teriak Delon, tubuhnya bergoyang-goyang di atas dinding, dan berdesis mirip ular. Kaca di ruangan seluruhnya mendadak pecah. Ruangan menjadi gelap, tak ada penerangan dan papa sudah tiba berada di belakangku, melihat kekacauan ini.