PERSEVERANCE

Hanawan Risa
Chapter #2

Big Decision

“Paman… kenapa kau membunuh ayah ibuku?”

TIDAKKKKKKKKK!!!!

Aku tersentak dari tidurku. Sudah lima tahun berlalu sejak kejadian eksekusi keluarga Wallace. Perasaan bersalah selalu menghantuiku. Gadis kecil bermata hijau itu selalu datang dalam mimpiku. Bahkan terkadang saat aku sedang bekerja, gadis itu tiba-tiba muncul di antara semak-semak pikiran dan menahanku untuk tidak menarik pelatuk lagi. Karenanya aku harus rutin mengonsumsi obat agar halusinasi ini berkurang. Tapi, tetap saja tidak ada yang berubah. Sudah puluhan psikiater aku datangi untuk mengobati halusinasiku ini, namun tetap saja nihil. Aku mulai menyerah.

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku harus bergegas menuju markas untuk melakukan tugas harianku. Banyak orang menganggapku bekerja di kantor kependudukan. Ya, tidak salah juga. Sebenarnya kantor kependudukan yang terlihat normal itu merupakan sebuah markas bagi para pembunuh yang diasuh langsung oleh pemerintah. Organisasi ini dibentuk secara rahasia dan hanya Presiden saja yang mengetahuinya. Para pembunuh yang direkrut telah disumpah untuk tidak membongkar identitas mereka kepada siapapun. Entah teman atau bahkan keluarga, tidak ada yang boleh mengetahuinya. Reclusive, nama yang diberikan Presiden kepada kami, organisasi pembunuh yang dipersiapkan untuk menghabisi siapa saja yang dianggap menjadi penyakit di dalam negara. Setiap hari setidaknya ada lebih dari dua puluh nama yang masuk ke dalam map merah. Nama-nama tersebut akan menemui ajalnya dalam waktu 2x24 jam setelah berkas target berada di tangan para eksekutor Reclusive. Terdengar mengerikan memang. Tapi, ini semua juga demi kepentingan keutuhan negara. Setidaknya hal itu yang aku tanamkan kepada semua anak buahku.

Setiap hari aku berjalan kaki untuk menuju sarang pembunuh itu. Begitu juga pagi ini, tidak ada yang berubah. Jalanan di kota tetap sibuk seperti biasanya. Manusia berlarian mengejar ketertinggalan waktu. Ada juga yang berjalan santai melintasi kerumuman orang dengan mengajak anjing peliharaannya. Terkadang aku juga ingin memiliki waktu santai seperti orang-orang lainnya dan berkeliling menikmati udara kota ini. Suara kapal mulai terdengar, pertanda akan segera berangkat dengan membawa barang dagangan ke negeri seberang. Barang dagangan sebanyak itu tidak akan bisa dibawa dengan pesawat. Muatannya terlalu berat. Belum lepas landas pun akan meledak jika dipaksa. Seperti isi kepalaku saat ini, terlalu penuh dan banyak pertimbangan yang akan mengubah hidupku. Jika tidak dikurangi muatannya, sudah pasti kepalaku akan pecah berkeping-keping.

“Selamat pagi, Kapten!” sapa Ryan dengan senyum lebarnya.

“Pagi, Ryan! Bagaimana kabarmu hari ini?”

“Seperti biasa, tugas eksekusi sudah menumpuk. Lelah juga harus membunuh manusia setiap hari. Saya ingin berhenti. Sungguh, tapi saya tidak berani dengan konsekuensi yang harus dihadapi nanti,” keluhnya berkepanjangan.

“Kenapa kau ingin berhenti?”

“Jangan kencang-kencang, Kapten. Jika orang lain dengar mereka akan langsung menghabisi saya tak bersisa. Saya tidak betah di sini, Letnan Hendry meminta semua yang berkaitan dengan target untuk dibunuh. Tak pandang bulu. Baik itu hanya sopir atau pembantunya, semua harus musnah. Berapa banyak lagi darah orang yang tidak berdosa harus melumuri seluruh tangan saya ini, Kapten? Apa Letnan Hendry ingin kita semua mandi darah? Saya tak habis pikir ….”

“Kau tahu? Lima tahun lalu saat aku membunuh keluarga Wallace, aku tidak benar-benar memusnahkan semuanya. Banyak pembantu dan penjaga yang aku loloskan. Karena aku tahu, mana yang baik dan mana yang buruk. Data mereka aku hapus dari sistem, sehingga Letnan tidak akan tahu bahwa masih ada beberapa orang tidak bersalah yang pernah berhubungan dengan keluarga Wallace yang masih hidup. Mereka semua pindah ke luar kota. Pergi jauh dari kota ini. Dan aku pastikan mereka aman,” kenangku mengingat semua kejadian tragis itu.

“Benarkah Kapten? Saya harus seperti itu juga!”

“Aku tidak menyarankanmu melakukan hal yang aku lakukan, karena kau belum mahir mengotak-atik data,” ejekku sambil terus berjalan ke ruangan.

“Angkat saya jadi murid Anda. Saya benar-benar ingin berhenti dari sini … ,” jelasnya sambil menghentikan langkahku kemudian bersujud mencium kakiku.

“Jika kau ingin jadi muridku, maka bantulah aku. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di sini. Aku akan melapor kepada Letnan untuk mengajukan pengunduran diri,” terangku kepada Ryan tentang rencana yang sudah aku pikirkan selama lima tahun ke belakang.

Lihat selengkapnya