PERSEVERANCE

Hanawan Risa
Chapter #3

180 degree

Sepuluh tahun sudah berlalu sejak aku mengundurkan diri dari Reclusive. Hidupku berubah 180 derajat setelah keluar dari sana. Anak buah yang dulunya segan dan menghormatiku, kini mereka berlomba-lomba menangkapku untuk menghadiahi Letnan dengan bungkusan kepalaku. Ryan, mata-mataku untuk memantau Reclusive sekaligus anak buahku yang paling loyal, memberiku sebuah berita bahwa siapapun anggota Reclusive yang bisa menangkapku akan dipromosikan menjadi Kapten secara langsung. Entah menangkapku dalam keadaan hidup atau mati. Tak kusangka, Letnan sangat terobsesi padaku. Dari hampir seratus anggota Reclusive, hanya Ryan yang sampai saat ini masih sering berkomunikasi denganku. Dia sangat loyal, tak salah aku menjadikannya tangan kananku di Reclusive. Segala info tentang gerak-gerik organisasi itu, aku dapatkan dari Ryan. Dan dia jugalah yang membantuku untuk kabur dari kota ini. Setidaknya harapan hidup di kota lain jauh lebih besar daripada aku harus menetap di kota yang memiliki organisasi pembunuh itu.

Menjadi buronan memang tidak mudah. Aku harus mengubah penampilanku dan aksen bicaraku. Rambut yang biasanya dipotong rapi, sekarang harus aku panjangkan. Gerah, hampir setiap hari aku mengikat dan menggelung rambutku. Harus memberikan perawatan ekstra. Tentu saja aku juga keramas setiap hari. Menyebalkan, tapi lebih menyebalkan jika aku tak mencuci rambutku. Entahlah, meskipun mantan pembunuh tapi aku sangat mencintai kebersihan. Begitu pun juga dengan cambang, aku selalu mencukur setiap hari. Tapi, tidak dengan sekarang. Aku membiarkan cambangku tumbuh. Tumbuh sedikit saja, asal ada perbedaan. Aku tidak suka dengan cambang. Dan juga kumis, aku tak suka kumis tebal serta aku harus menutup bekas tindikan di telingaku. Ya sudah lama juga aku melepas tindikan ini, bekasnya pun sudah tidak terlihat, tidak seperti sepuluh tahun yang lalu. Tentu saja penampilan sangat mudah untuk diubah. Hanya perlu membiasakan saja. Namun untuk aksen, memang perlu usaha lebih. Berkali-kali aku hampir melupakan aksen untuk penyamaranku. Aku yang terbiasa dengan aksen Perancis harus mengubahnya menjadi aksen Irish. Untunglah, karena terlalu sering mengobrol dengan Ryan, aku jadi tidak perlu belajar aksen dari awal. Sedikit banyak Ryan telah membantuku.

Bangun pagi dan pergi ke markas sudah kuhapus dari daftar kegiatan sehari-hari. Aku bisa mengerjakan pekerjaanku di mana pun dan kapan pun. Rupanya, bakat menulisku bisa aku kembangkan menjadi pundi-pundi pemasukan di masa sulit ini. Menggunakan nama samaran dan mengirim karyaku ke beberapa penerbit terkenal. Tidak jarang para penerbit itu berani mengontrakku untuk melanjutkan ceritaku yang memang sengaja aku buat menggantung. Bukankah orang lebih terkenang dengan cerita bersambung dan akan selalu menanti kelanjutannya? Setidaknya itu yang aku pikirkan. Tidak buruk juga, dari hasil menulis, aku bisa membeli rumah sederhana di tepi danau yang ditawarkan Ryan kepadaku saat aku pindah ke kota ini. Memang dijual murah karena seringnya rumah tersebut menjadi objek perampokan. Jarak yang cukup jauh dari pusat kota membuat siapa pun yang tinggal di sini tidak akan bisa meminta tolong jika dalam keadaan bahaya. Rawan. Tapi, hal itu tidak akan berlaku untukku. Beberapa kali, rumah ini dimata-matai mobil sedan yang selalu berhenti di depan rumah. Aku tak peduli. Setidaknya aku harus menyapa tamu yang berniat mampir, kan? Aku keluar rumah dan mendekati mobil sedan itu. Tak lupa juga, senyum paling ramahku. Mengajak pengemudi itu berbincang dan menawarkan untuk mampir ke dalam rumah. Sesuai dugaan, mereka turun dari mobil. Tanpa basa-basi, aku langsung merangkul salah satu dari mereka dan mengancam mereka. Jika masih berani menginjakkan kaki di area rumahku lagi, aku tak akan segan-segan untuk membunuh mereka. Perampok kelas teri itu ketakutan dan memohon ampun padaku. Selain aku lihai mengancam, secara postur tubuh, aku jauh lebih unggul dari mereka. Mencekik dua leher perampok secara bersamaan pun rasanya bukan masalah.

Dan pagi ini, aku harus pergi ke pusat kota. Bukan untuk bekerja, hanya belanja. Belanja keperluan bulanan. Kunyalakan mobil jeep bekas hasil jerih payahku menjadi penulis. Menyusuri jalanan di pagi hari dengan mobil seperti ini benar-benar menyenangkan. Jalanan masih sepi dan tidak perlu mengecek peta untuk melihat kemacetan. Mobilku mengarah ke pusat perbelanjaan. Tempat parkir masih lenggang. Tak perlu takut untuk berebut tempat parkir.

“Selamat datang di Lauren Market, Anda selalu datang pagi ya Tuan?” sapa pegawai muda itu ramah.

“Ah, kau sampai hafal dengan kedatanganku.”

“Anda selalu datang di pagi hari pada tanggal 23 setiap bulannya, bagaimana mungkin saya tidak hafal dengan kebiasaan Tuan?” jelasnya sambil memberikan keranjang belanja kepadaku.

“Terima kasih atas perhatian dan keranjangnya Nona,” jawabku singkat dan segera belanja.

Aku mengambil beberapa kebutuhan yang memang diperlukan. Saatnya menuju persediaan terakhir, wine!

Saat tengah fokus berbelanja, suara pecahan botol membuat kegaduhan pagi ini. Seorang gadis muda berambut coklat tengah menjatuhkan belasan botol wine.

“Ah maafkan aku, aku tidak sengaja. Maafkan aku …,” ucapnya terus menerus sembari membantu pegawai membersihkan lantai.

“Tidak apa-apa Nona, tapi mohon maaf, Anda harus membayar sejumlah botol wine yang telah pecah ini,” jawab pegawai masih dengan nada yang ramah.

“Um… berapa kira-kira harga yang harus saya bayar?” ucapnya sambil membuka dompet.

“Seribu euro. Pelunasan bisa dilakukan di kasir,” jelas pegawai ramah.

Lihat selengkapnya