Tidak pernah aku merasakan kedamaian seperti ini. Hari Minggu yang dulunya sibuk, sekarang bisa aku nikmati dengan santai. Aku tidak akan melewatkan kebahagiaan ini. Berjalan-jalan di taman kota sepertinya menarik untuk merayakan hari baik ini.
Tak mau menyia-nyiakan waktu santai ini, aku memilih menggunakan sepeda untuk menjadi kendaraan menuju taman kota. Aku masukkan buku sketsa gambar, beberapa potong roti, dan makanan kucing ke dalam tas. Roti untuk orang-orang yang membutuhkan sarapan dan makanan kucing untuk para kucing liar yang kedinginan di dalam kardus yang sengaja dibuang pemiliknya. Setelah semua barang yang harus dibawa sudah siap, aku mulai mengeluarkan sepedaku dari garasi. Karena cuaca yang cukup hangat, aku memutuskan untuk mengenakan kaos putih polos dan celana training panjang. Aku rasa dengan pakaian seperti itu akan membuatku nyaman seharian.
Sepeda hybrid pemberian Ryan ini sangat nyaman dipakai. Dia memang tahu benar seleraku. Warna hitam dan tampilan yang tidak terlalu mencolok membuatku tenang mengayuh dengan santai. Jujur saja, aku tidak suka dilihat ataupun diamati orang lain. Dengan tampilan yang sederhana bisa menghindariku dari hal-hal seperti itu.
Jarak dari rumah ke taman tidak begitu jauh. Jika dibandingkan dengan Lauren Market, taman jauh lebih dekat. Letak taman kota berada di antara rumahku dan Lauren Market. Jadi tidak terlalu jauh. Jalanan ke arah taman perlahan dipenuhi manusia. Tentu saja karena hari ini hari Minggu. Banyak warga kota yang mengajak keluarga mereka untuk berjalan-jalan di taman atau sekadar piknik. Sesampainya di taman, aku segera memarkir sepedaku di bawah pohon beringin. Taman seluas 100 hektar ini memiliki fasilitas yang sangat beragam. Selain untuk berjalan santai menikmati keindahan taman, ada juga kegiatan yang bisa dilakukan di sini, seperti jogging, tenis, dan berkuda. Tak heran banyak warga kota datang ke taman ini.
Aku berkeliling menikmati taman dan mengamati bunga yang mulai bermekaran. Mawar dan aster mulai berlomba untuk tampil menarik. Bagiku mereka berdua sama saja, sama-sama cantik. Aku tidak bisa memilih jika berurusan dengan bunga. Karena Ibuku, Albane Moreau, pemilik Fleuriste di Paris, aku terbiasa dengan kecantikan bunga-bunga dan tahu cara merawatnya. Pernah terpikir untuk membuka usaha seperti Ibu, tapi kuurungkan niat karena diperlukan ketelatenan dan kesabaran dalam merawat bunga. Aku tidak tahu apakah aku bisa bersikap seperti itu atau tidak. Lebih baik aku menikmati bunga yang sudah ditanam orang lain saja.
Bangku panjang yang menghadap taman bunga mawar menjadi pilihanku untuk duduk santai bersandar menikmati Minggu tenangku. Aku mulai mengeluarkan buku sketsa gambar yang sedari tadi telah memanggilku untuk mulai mengabadikan keindahan taman. Terbiasa dengan melukis menggunakan cat air membuat semua lukisanku terlihat berwarna. Kali ini, lukisan taman bunga mawar akan didominasi warna merah. Belum selesai aku memberi warna pada kelopak bunga, seorang gadis muda lewat di depanku.
“Katt! Apa kabar?” sapaku sambil berdiri dengan tetap membawa buku sketsaku.
“Katt? Apa Anda berbicara dengan saya?” balasnya ragu-ragu.
“Ya, siapa lagi, kita bertemu di depan Lauren Market sekitar seminggu yang lalu.”
“Oh, benarkah? Maaf Tuan, nama saya Anne. Mungkin maksud Tuan yang bernama Katt adalah kembaran saya,” jelasnya meyakinkan.
“Apa kau memiliki saudara kembar identik? Wajah kalian sama persis, aku tidak bisa membedakannya. Maafkan aku,” jawabku bingung.
“Ya, namanya Katt dan saya Anne. Senang bertemu dengan Anda, Tuan. Jika Anda temannya Katt, berarti Anda juga teman saya. Ngomong-ngomong, apakah Tuan datang sendirian saja ke taman?”
“Seperti yang kau lihat, aku datang sendiri.”
“Oh… jika Anda tidak keberatan, bolehkah saya menemani Tuan? Kebetulan saya juga sendirian dan tidak tahu harus bermain dengan siapa selain dengan kucing liar,” sambungnya sambil tertawa ceria.
“Tentu saja, namaku Lucas Greyson, aku belum sempat memperkenalkan namaku.”
“Lucas Greyson, nama yang bagus. Senang berkenalan dengan Anda, Tuan. Saya sering datang ke taman ini setiap akhir pekan. Mungkin karena banyak kucing liar yang dibuang di bawah pohon menjadikan saya rutin datang ke sini. Kenapa manusia bisa tega membuang hewan yang lucu itu sih?” ceritanya panjang sambil menggenggam makanan kucing.