PERSEVERANCE

Hanawan Risa
Chapter #6

Moon Lake

Telepon yang tergeletak di meja kerja berdering berkali-kali. Membuat suara gaduh di pagi hari yang harusnya tenang ini. Nama Ryan Hendricson muncul di layar telepon. Nama yang aku tunggu-tunggu sejak kemarin, sepertinya persiapan untuk bermigrasi sudah siap. Aku akan segera pindah dari kota ini untuk menghindari bertemu dengan penerus keluarga Wallace.

“Kapten! Apa kau serius akan pindah kota lagi?” suara Ryan terdengar lebih gagah di telepon dibandingkan saat berbicara langsung.

“Apa kau tidak yakin dengan keputusanku?” tanyaku menghardik

“Tidak, saya selalu yakin dengan keputusan Kapten. Hmm… tapi, kita akan terpisah lebih jauh lagi Kapten, saya tidak ada panutan nantinya dan saya takut jika saya benar-benar akan terpengaruh Reclusive,” suaranya terdengar putus asa.

“Kenapa kau sangat lembek dan cengeng Ryan, tidak seperti kau saja,” jawabku tak percaya setelah mendengar alasannya.

“Benar Kapten! Saya setiap hari berkecimpung di dunia gelap ini. Membunuh, menyiksa, dan melakukan hal kotor lainnya. Bukankah jika sering berhubungan dengan suatu hal yang buruk, maka tinggal menunggu waktu saja sampai kita ikut menjadi seperti itu juga? Saya tidak mau menambah dosa lagi, setidaknya jika Kapten masih ada di dekat saya, saya bisa sering berkomunikasi dan menanyakan baik buruknya tindakan saya …,” jelasnya sangat panjang dan berbelit.

“Kau masih sama saja banyak bicara, apa kau tidak takut jika menghubungiku terus menerus akan ada yang mengawasi gerak-gerikmu? Aku punya firasat buruk tentang hal ini,” terangku mengutarakan isi pikiranku.

“Firasat apa Kapten?”

“Jika kita sering berkomunikasi melalui telepon seperti ini, pasti akan ada orang yang mencurigai dan mulai menyadap ponselmu. Kau tahu sendiri, kita adalah rekan dekat di Reclusive. Saat aku keluar dari sana sudah bisa dipastikan bahwa banyak mata yang mulai mengamatimu. Apa kau tak sadar hal sederhana itu? Aku sarankan ini terakhir kalinya kau meneleponku menggunakan nomormu ini. Jika kau ingin menghubungiku pastikan menggunakan nomor yang baru atau menggunakan telepon umum. Dan jangan panggil aku Kapten lagi, ganti namaku saat kau mau memanggilku,” tegasku.

“Siap, saya akan memanggil Anda sesuai kode rahasia yang pernah kita buat saja. Saya rasa itu akan aman,” jawabnya memberi ide.

“Ya terserah kau saja. Apa persiapan pindah kotaku sudah siap? Kau sudah menghubungi Tuan Elyaz?” tanyaku tiba-tiba.

“Sudah siap semua. Tuan Elyaz sangat bisa diandalkan tentang hal ini. Beliau sudah menyiapkan rumah kosong di daerah yang tak banyak penduduknya. Anda akan nyaman tinggal di sana. Rute perjalanan arah jam 2 dari tempat tinggal Anda saat ini, lalu mengikuti arah sungai yang akan Anda temui di ujung dari arah jam 2 tadi. Rumah baru terletak di dekat muara,” jawabnya sembari menjelaskan arah rumah yang akan kutempati.

“Baik, besok aku sudah bisa pindah kota. Persiapan sudah sempurna.”

“Apa saya bisa sesekali mengunjungi Anda?”

“Tidak.”

“Sumpah, saya takut akan menjadi sama seperti mereka. Tolong pikirkan sekali lagi, saya sudah mengikuti Anda sejauh ini ….” Suaranya sangat rendah, terdengar memohon.

“Hah, karena kau terdengar sangat putus asa dan aku tidak bisa membiarkanmu terpengaruh Reclusive, sepertinya lebih baik kita bertaruh saja,” celetukku asal.

“Bertaruh seperti apa Kapten?” secepat kilat jawaban itu keluar dari mulutnya.

“Hmm… taruhan yang gampang, jika aku bertemu lagi dengan Katt Wallace, maka aku tidak akan pindah dari kota ini, anggap saja Tuhan ingin aku menjaga gadis itu. Tapi, jika aku tidak bertemu dia, maka aku akan pindah dari kota ini. B-E-S-O-K!” jawabku memberi penekanan.

“Baik Kapten! Saya akan berdoa agar Kapten tidak pindah, semoga Tuhan memberkati doaku,” sambungya lirih.

“Dan, kuingatkan sekali lagi, jangan panggil aku Kapten lagi!” kututup telpon dan segera berkemas.

Taruhan yang tidak masuk akal, mana mungkin aku akan bertemu dengan Katt lagi. Aku tidak ada rencana sama sekali untuk pergi ke kota. Berdiam saja di rumah agar taruhan gila itu tidak terjadi. Tuhan ingin aku menjaga gadis itu? Apa-apaan kataku tadi? Kalimat yang tak jelas asal usulnya itu meluncur dengan ringan di lidahku. Hah, pasti gara-gara Ryan, dia selalu saja mendesak agar aku tidak pindah. Meskipun begitu, dia tetap mengurus semua hal terkait rencana pindahku.

Sudahlah, aku harus berkemas untuk perpindahanku besok. Masih banyak barang yang belum aku rapikan. Barang di ruang tamu, di ruang tengah, dan di kamar, aku tinggal saja semua. Kuberikan saja kepada Ryan. Hanya buku-buku dan beberapa baju yang belum kukemas. Terlalu banyak buku, hingga bajuku tidak bisa masuk ke dalam koper berukuran sedang ini. Aku memang tipe yang lebih memilih buku daripada baju. Kumasukkan buku-buku kesayanganku ke dalam koper, untuk baju aku pakai yang sudah melekat ini saja. Selain karena hobi membaca, aku tidak ingin buku yang aku tinggalkan akan membuat orang lain mengetahui karakterku. Karena aku buronan, akan lebih bijak jika aku tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Meskipun rumah ini nanti akan kuberikan pada Ryan, tidak menutup kemungkinan bahwa Ryan akan mengundang rekan dari Reclusive entah untuk bersenang-senang atau hanya sekadar mampir. Yah, Ryan memang tidak terlalu mengerti pola membaca karakter orang lain dan betapa berbahayanya jika karakter dari orang tersebut sama dengan karakter dari buronan yang selama ini mereka incar. Ryan akan terlibat masalah dan begitupun juga denganku. Meminimalisir kemungkinan terburuk sudah menjadi kebiasaanku.

Menikmati pemandangan terakhir di rumah ini, aku langkahkan kaki menuju teras belakang. Dari teras belakang ini aku bisa memandang danau yang tenang dan terkadang ada gelombang kecil yang bergerak beriringan. Sangat tenang. Danau yang hanya berjarak sepuluh meter dari halaman belakang rumah ini seringkali menjadi tempat favoritku untuk membaca beberapa buku filsafat. Jika tidak terlalu mengerti maksud dari buku tersebut, aku akan mengalihkan pandanganku ke danau, lalu entah dari mana datangnya ilham itu, aku bisa mengerti maksud dari buku filsafat kesayanganku itu. Karena bukuku sudah masuk ke dalam koper, aku tidak bisa membaca buku lagi untuk sore terakhir di teras belakang ini. Tak apa, aku akan berjalan-jalan saja di tepi danau.

Danau yang tenang dengan air berwarna kehijauan itu membuatku teringat pada Katt. Warna bola matanya sama persis dengan warna danau ini. Hijau dan berkilau, sampai-sampai aku bisa melihat bayanganku di bola matanya. Begitupun juga air danau ini, aku menyebutnya Danau Cermin. Ya karena danau ini selalu memantulkan cahaya bulan, langit malam bertabur bintang, dan aku juga sering melihat matahari bercermin di danau ini. Jika tidak bisa menatap matahari secara langsung, menatap bayangannya di danau saja sudah sangat membantu. Aku melipat celana panjangku ke atas dan mulai duduk di bebatuan tepi danau. Rasa dingin merasuk ke dalam pori-poriku dan perlahan menjalar ke seluruh tubuh saat aku mulai merendam kakiku ke danau. Tenang dan dingin. Terlihat segerombolan kelelawar mulai keluar dari sarangnya dan mulai mencari makan. Suara-suara hewan malam mulai bersahut-sahutan menunjukkan eksistensinya. Hah, padahal ini masih sore tapi hewan-hewan malam itu seolah berebut untuk segera naik ke panggung. Kurogoh sakuku dan mengecek ponselku, waktu menunjukkan pukul 9 lebih 45 menit. Matahari mulai mempersilakan bulan menggantikan posisinya, ia turun perlahan dengan cahaya keorenan yang memancar dari tubuhnya. Indah sekali. Mega berarak mengikuti arah angin. Kurebahkan badan di tengah hamparan rumput liar dengan posisi kaki masih tetap terendam ke dalam air. Mengagumi seluruh alam semesta memang tidak akan ada habisnya. Memikirkan penciptaannya pun juga tidak akan ada habisnya. Para filsuf sudah memikirkan tentang ini sejak beribu tahun yang lalu. Aku mulai memejamkan mata. Semakin dalam dan aku tertidur nyenyak di tepi danau.

“Hei! Kau tidak apa-apa?”

Cahaya dari senter itu membuatku silau. Sial! Cahaya senternya tidak berhenti memutari wajahku! Setengah sadar aku mencoba duduk dan membenarkan posisiku.

Lihat selengkapnya