PERSEVERANCE

Hanawan Risa
Chapter #7

Confused

Sinar mentari menyelinap masuk ke dalam kamar. Membawa hawa baru setelah semalam terasa mematikan rasa. Aku duduk di atas ranjang empuk dengan selimut tebal berbulu yang sangat nyaman. Pikiranku kalut, aku sedang di mana ini? Ini bukan di Rumah Sakit Jiwa. Kuamati seluruh kamar yang nampak asing bagiku. Aku tidak pernah kemari sebelumnya. Ruangan yang didominasi dengan bahan kayu itu membuatku semakin merasa kecil di tempat yang asing. Langkah kaki mulai terdengar menaiki anak tangga. Perlahan-lahan dan terasa semakin dekat. Langkah itu berhenti tepat di depan kamar dan tak segera menampakkan diri. Aku masih duduk mematung mengamati pintu yang sedari tadi membisu. Knop pintu mulai memutar ke kanan, pertanda ada seseorang yang akan masuk ke dalam kamar. Aku semakin takut tak karuan. Apakah aku diculik? Atau aku diperkosa? Kurasai seluruh badanku masih dalam keadaan utuh, tidak ada tanda kekerasan. Kalau begitu, apa aku akan diperjualbelikan di pasar manusia? Aku masih terdiam, tidak tahu harus melawan atau mencoba berkawan. Suster Maria, tolong aku…

“Ah, kau sudah bangun?” tanyanya dengan suara yang berat.

“Ah-oh-ah… Tu-tu-tuan Lucas?” aku gagap sambil mengarahkan jari telunjukku kepadanya.

“Nada bicaramu berubah lagi, apa kau saat ini adalah Katt?”

Dia mengamatiku dan masuk ke dalam kamar dengan membawa beberapa potong roti, susu putih, serta irisan apel di atas nampan. Nampan berisi penuh sarapan itu ia letakkan di meja dekat ranjang dan kini ia duduk di tepi ranjang.

“I-i-iya… saya Katt, Tuan. Kenapa saya bisa ada di sini?” Aku tak sabar menunggu jawaban darinya.

“Kau lupa? Kemarin kau mendatangi rumahku dan mengatakan bahwa namamu adalah Chloe. Apa kau ingat Chloe?”

Hah! Aku sedang tidak waras malam itu. Kepribadianku berubah menjadi Chloe, gadis tomboy, dan penuh amarah itu. Tapi kenapa Chloe bisa sampai ke sini, aku benar-benar lupa dengan kejadian yang terjadi saat kepribadianku berubah.

“Maaf, apakah Anda tahu mengapa saya yang saat itu menjadi Chloe bisa ada di sini? Mmm… dan juga, apa Tuan sudah tahu bahwa saya ini bukan orang waras?” Suaraku terdengar penuh keraguan, aku takut mendengar jawabannya.

Dia tersenyum mendengar pertanyaanku. Senyum tipis di wajah tampannya itu membuatku malu untuk menatap wajahnya kembali. Tidak pernah aku jumpai pria setampan ini. Dia memintaku untuk menikmati sarapan yang telah ia buatkan. Aku mengikuti perintahnya dan mulai mendengarkan ceritanya. Cerita yang singkat dan mudah dipahami seseorang yang bodoh seperti aku ini. Tuan Lucas selalu menekankan berkali-kali bahwa aku bukanlah orang yang tidak waras. Aku hanya sedang sakit saja. Suatu saat pasti akan sembuh. Kalimat yang sangat menenangkanku pagi ini. Semakin aku mendengarkan ceritanya, semakin aku merasa yakin bahwa dia adalah orang yang baik. Benar, dia adalah orang yang menolongku saat aku tidak bisa membayar beberapa botol wine yang aku pecahkan. Fakta mengejutkan lainnya adalah aku sekarang tinggal bersama Tuan Lucas. Aku sedikit merasa bahagia karena bisa keluar dari Rumah Sakit Jiwa meskipun harus meninggalkan Suster Maria. Aku telah lama menjadi beban bagi Suster Maria, beruntung Tuan Lucas bersedia menerimaku. Mulai saat ini aku harus selalu membantu Tuan Lucas dan berusaha untuk tidak menjadi beban baginya. Tanpa sadar, nampan yang berisi sarapan itu habis aku makan sendirian. Aku malu melihat kelakuanku menghabiskan sarapan di rumah orang lain. Tuan Lucas tertawa dan mengambil nampan itu, lalu memintaku untuk segera turun. Aku mengiyakan setiap perintahnya. Kharismanya sungguh luar biasa, dia bisa membuat siapapun tunduk kepadanya hanya dengan tatapannya. Sangat tampan dan mengagumkan.

“Kau sudah mandi? Barang-barangmu sudah ada di dalam koper, kau bisa mengecek barangmu,” perintahnya sambil menunjuk koper cokelat yang tergeletak di lantai.

Aku buka koperku dan mengecek barang-barangku, tidak ada yang ketinggalan, semuanya lengkap. Aku tata kembali seluruh isinya dan mulai menuju dapur, di mana Tuan Lucas sedang mengemasi beberapa persediaan makanan.

“Tuan, apa kita benar-benar akan pindah?” tanyaku pelan dan mulai duduk di kursi dapur.

“Ya, seperti yang aku ceritakan tadi. Kita akan pindah ke kota yang tidak banyak penduduk dan terletak di tepi pantai. Kau suka pantai, kan?”

“Iya, saya suka sekali. Tapi, saya tidak pernah sekalipun datang ke pantai.”

Lihat selengkapnya