Hampir sebulan, kami mulai tinggal di sini. Katt sangat menikmati rumah baru ini. Kadang kala dia mengajakku ke pantai dan bermain di tepi laut. Tak hanya itu, ternyata dia memiliki keahlian merajut! Waktunya dihabiskan untuk merajut sebuah sweater berwarna hitam dan membuat beberapa syal. Aku menyarankannya untuk mencoba menjual hasil karyanya itu. Dengan bantuan media sosial sangat memudahkan kami untuk menjual semua hasil rajutan Katt. Banyak sekali orang yang tertarik dengan hasil rajutan Katt. Aku membuatkan akun media sosial untuk Katt, tentu saja hanya untuk berjualan tanpa memasang fotonya sama sekali. Untunglah dia juga bukan tipe yang suka mengumbar foto jadi dia tidak keberatan jika tidak mengunggah fotonya di media sosial. Banyak pesanan yang membanjiri akun jualan Katt, dia sangat bahagia karena hal itu. Senyumnya selalu merekah saat memegang alat rajut dan terus menceritakan betapa banyaknya pesanan yang harus dia buat. Perasaan bahagia juga turut menyelimutiku, aku bisa membuatnya bahagia. Ya walaupun untuk saat ini dia tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Biarlah dia bahagia untuk saat ini, aku tak sanggup menghancurkan kebahagiaannya.
“Katt… hari ini aku akan pergi keluar kota. Tidak sampai menginap, mungkin aku akan pulang sangat larut. Semua pintu dan jendela sudah aku kunci. Tidak akan ada orang jahat yang masuk ke dalam rumah. Jadi kau akan aman jika berdiam di dalam rumah, mengerti? Jangan keluar rumah,” tegasku sembari memakai jaketku.
“Ke mana? Apa aku bisa ikut?” balasnya terkejut dan meletakkan alat rajutnya.
“Ke kantor penerbit, ada kerjaan yang harus aku selesaikan di sana. Sayangnya, kau tidak bisa ikut. Lagipula pesananmu juga sangat banyak, kau harus segera menyelesaikannya,” jawabku mencoba membuatnya tetap di rumah.
“Hmmm… baiklah, aku tidak akan memaksa jika memang tidak bisa ikut. Cepatlah pulang, aku takut sendirian.”
“Iya, aku akan cepat pulang,” balasku cepat dan segera keluar dari rumah.
Katt mengamati dari jendela, melambaikan tangan kepadaku, dan mulai menutup gorden. Aku membawa kunci cadangan untuk jaga-jaga jika aku pulang terlalu malam. Tidak perlu mengetuk pintu dan membangunkan Katt jika aku sudah datang nantinya. Tujuanku hari ini adalah ke rumah Lucy York. Aku tidak bisa membicarakan hal ini dengan Katt. Kepercayaannya kepadaku akan berkurang jika dia tahu bahwa aku menyelidiki masa lalunya melalui orang lain. Ya, memang aku tidak bisa bertanya apapun tentang kehidupannya dulu, aku tak mau membuatnya mengenang rasa sakit itu.
Perjalanan yang kutempuh kali ini cukup jauh, memakan waktu dua jam dari rumah untuk bisa mencapai kediaman Lucy York. Pemukiman kumuh dan penuh dengan sampah kota. Mayoritas warga yang berdiam di sini bekerja sebagai pemulung. Tidak menutup kemungkinan bahwa Lucy York juga menjadi bagian dari kehidupan pemulung di sini.
Bau sampah mulai menyengat indera penciumanku. Gunungan sampah itu tampak lebih gagah dari Himalaya. Pertanda bahwa jumlah manusia di bumi sudah melebihi kapasitasnya. Ah barangkali manusia saja yang tidak peduli pada lingkungannya. Tempatnya berpijak yang memberinya segalanya saja tidak dia pedulikan apalagi sesama manusia. Sudah tabiatnya seperti itu. Dan mau tidak mau aku juga bagian dari manusia itu tapi setidaknya berusaha untuk tidak menjadi seperti itu adalah jalan yang saat ini aku usahakan. Mencoba peduli pada orang yang dulu pernah kusakiti.
Mobilku tidak bisa masuk ke pemukiman kumuh itu, terpaksa aku memarkirnya di pinggir jalan yang agak jauh dari pemukiman dan terletak di depan gunungan sampah. Pemukiman warga berada jauh ke dalam dari gunungan sampah itu. Lebih tepatnya mereka tinggal di tengah-tengah tumpukan sampah. Mereka memilih tinggal di antara tumpukan sampah mungkin untuk memudahkan pekerjaan mereka yang memang mayoritas bergelut dengan sampah-sampah itu. Ditambah lagi, mendirikan rumah di sini juga tidak dikenai pajak. Salah satu cara untuk mengurangi biaya hidup, menurutku.
Rumah sederhana dan bukan bangunan permanen itu nampak berdiri tak karuan. Sangat tidak beraturan. Hanya dengan memandangnya saja sudah membuat pusing. Kondisi seperti ini akan menyulitkanku jika mencari Lucy York. Aku tak bisa sembarangan bertanya kepada warga sekitar. Yang bisa aku lakukan hanyalah berkeliling di pemukiman ini dan mengamati seluruh kegiatan warga di sini. Tak jarang banyak orang yang menatapku dan mulai berbisik dengan rekan sebelahnya. Penampilan yang gahar memang sudah melekat padaku. Terserahlah aku dianggap apa di mata orang-orang itu. Jika mereka sudah menilaiku maka aku tak perlu menjelaskan nilaiku kepada mereka, kan?
“Ada maksud apa Tuan kemari?” tanya seorang pria yang tingginya tak lebih dari daguku.
“Hanya melihat-lihat saja,” jawabku acuh.
“Jika Tuan ingin merusak kenyamanan warga di sini, lebih baik Tuan mundur terlebih dahulu. Saya tidak akan segan-segan membunuh Tuan,” ancam pria bertubuh kekar itu sembari menodongkan pistolnya kepadaku.
“Aku tidak akan mengganggu ketenangan warga di sini, aku hanya melihat-lihat saja. Tapi jika kau memaksaku menggunakan kekerasan aku akan meladeninya,” jawabku sambil merebut dan membuang pistol yang di arahkan kepadaku.
“Kau ingin melawan dengan tangan kosong rupanya,” secepat kilat dia melayangkan kepalan tangannya ke arahku.
Warga sekitar tak berani menonton, mereka memilih masuk ke rumah dan mengunci pintu rapat-rapat.
“Aku datang secara baik-baik, jadi kau seharusnya menerima kedatangan orang lain dengan baik juga,” balasku dan menangkis tinju kanannya kemudian memutar tangan kanannya itu ke belakang untuk membuatnya terkunci sehingga tak bisa melawan lagi.
Hanya badannya saja yang kekar, kemampuannya tak lebih dari preman jalanan. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya kalah dan menyerah di hadapanku.
“Jika kau ingin mengajak adu fisik, kau salah dalam memilih lawan,” jawabku sambil terus mengunci tangan kanannya.
“Kau, siapa kau sebenarnya? Apa kau dari kepolisian? Tidak ada penjahat di sini,” balasnya terengah-engah penasaran serta diliputi rasa ketakutan.