PERSEVERANCE

Hanawan Risa
Chapter #9

Mirror

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, aku harus segera pulang dan segera membaca buku pemberian Lucy ini. Buku catatan tipis itu aku masukkan ke dalam kantong jasku, sebagai pengingat bahwa aku memiliki tugas untuk membaca buku ini. Pukul sembilan malam masih sangat sore di kota ini. Hiruk pikuk keramaian kota masih terasa namun lalu lintas tidak sepadat saat pagi hari. Jalanan terasa cukup lenggang dan nyaman tanpa takut akan menemui kemacetan di perjalanan. Aku memutar radio untuk menemani perjalanan pulangku kali ini. Perjalanan panjang yang menghabiskan waktu sekitar dua jam ini harus dibunuh dengan memutar lagu demi mengusir kebosanan. Kuperkirakan perjalanan dari kota ini menuju rumah membutuhkan dua buah album lagu yang masing-masing berisi dua belas buah lagu. Setiap lagu memiliki durasi kurang lebih lima menit dan tepat pada lagu terakhir di album kedua, aku sudah sampai di depan rumah. Dan saat lagu sudah benar-benar berakhir, mobilku sudah terparkir di dalam garasi dengan sempurna.

Mungkin Katt sudah tidur, aku tak akan membangunkannya. Dengan perlahan aku memasuki rumah dan menutup pintu depan. Lampu di dalam rumah sudah ia padamkan, sepertinya dia ketakutan. Aku meraba-raba saklar untuk menyalakan lampu.

“Katt? Kau belum tidur? Sedang apa kau di depan cermin dan terus menyisiri rambutmu?”

Dia hanya diam tanpa jawaban. Mungkinkah dia berubah lagi saat ini? Aku mulai mendekatinya perlahan dan mengamatinya yang sibuk menyisir rambut. Dia mengenakan gaun yang dulu aku belikan untuk kepribadian Katt yang lain. Joanna. Tidak mungkin Joanna bertingkah seperti ini, dia adalah kepribadian kekanakan. Joanna pasti bahagia melihatku datang dan akan segera memalakku untuk membelikan kue. Bukan, ini bukan Joanna. Chloe? Tidak, Chloe sangat tomboy, dia tidak akan mau menggunakan gaun. Anne? Bukan juga, Anne sangat dewasa, tidak mungkin dia mendiamkan orang lain yang mengajaknya bicara. Lalu ini siapa?

“Siapa kau?” tanya Katt tiba-tiba dengan sorot mata curiga.

“Apa kau tidak ingat aku?”

“Hah? Aku tidak pernah bertemu dengan orang sepertimu sebelumnya. Kenapa kau masuk ke dalam rumahku?” sergapnya dan menodongkan sisirnya ke wajahku.

“Ini rumahku dan rumah Katt, kau tahu Katt, kan?”

“Katt? Ah, anak yang pemalu itu ya. Bisa-bisanya kau serumah dengan orang yang tidak bicara sepertinya,” gerutunya sembari menyisir kembali rambutnya.

“Hmmm… ya bisa saja. Lalu, namamu siapa?” tanyaku penasaran.

“Kau tidak kenal aku? Bagaimana mungkin pria sepertimu tidak mengenal aku yang seperti ini?” sahutnya dengan wajah angkuh.

Ini kepribadian yang berbeda dengan yang telah aku kenal sebelumnya. Aku harus berusaha mengenalnya lebih jauh.

“Aku sering bertemu banyak wanita, jadi mungkin aku lupa dengan namamu,” ucapku bohong.

“Kau ini! –teriaknya sambil memukul lenganku– “aku ini Belle, apa kau masih tidak kenal dengan nama itu?” ujarnya lebih angkuh lagi.

“Oh ya! Tentu saja aku mengenal nama itu,” balasku membaca situasi.

Dia menyebut namanya Belle, mengenakan gaun, dan selalu menata rambutnya. Selain itu, dia juga menatap wajahnya di dalam cermin dengan waktu yang cukup lama. Saat aku datang tadi, dia benar-benar tidak peduli, seolah-olah semua dunia tertuju padanya. Ditambah lagi cara bicaranya angkuh sekali, menganggap semua orang pasti mengenalnya.

“Benarkah? Jelaskan padaku, siapa diriku ini?!” perintahnya kepadaku sambil memutar-mutarkan sisir di jari-jarinya.

“Baiklah, bagaimana aku bisa lupa dengan wanita secantik kau ini Bell,” jawabku sekenanya.

“Ahahaha… akhirnya kau ingat juga! Kau tahukan bahwa aku ini wanita yang paling cantik di seluruh dunia,” balasnya dan kini berubah memainkan gaunnya.

“Tentu saja, dari namamu saja sudah sangat cantik. Bukankah begitu?” ucapku mengikuti alurnya.

“Ya!!! Benar sekali! Kau sangat pandai. Hmmm… siapa namamu, wahai budak?”

Budak? Gila! Mungkin ini kepribadian aslinya, warisan gen dari ayah dan ibunya. Mau bagaimana lagi, aku harus tetap mengikuti alur yang dibuat oleh kepribadian Belle ini.

“Namaku Lucas, apa yang sedang kau lakukan? Sedari tadi kau hanya menyisir rambut dan memandangi bayanganmu di cermin saja.”

“Tentu saja aku mengagumi wajahku, mau apa lagi? Apa kau tidak kagum dengan wajahku?”

“Sangat kagum, tidak pernah ada wanita yang sangat menarik sepertimu, Bell. Kau sangat cocok dengan gaun itu,” kata-kataku terdengar seperti rayuan.

Lihat selengkapnya