PERSEVERANCE

Hanawan Risa
Chapter #10

The Code

Pukul sembilan pagi, Katt perlahan terbangun dari tidurnya. Sinar matahari memasuki kamarnya, mata indahnya itu berkedip beberapa kali mencoba beradaptasi.

“Tidurmu nyenyak?” tanyaku mengangetkannya yang masih tak menyadari keberadaanku.

“Lucas! Kenapa kau ada di sini?” balasnya kebingungan dan menarik selimut ke dadanya.

“Apa yang kau pikirkan? Aku berbuat kejahatan kepadamu?”

“Ti… tidak! Hanya saja aku kaget karena kau ada di kamarku sedangkan aku menggunakan gaun seperti ini,” –jelasnya sembari merapikan selimut– “Luc, tanganmu terluka!” sambungnya saat melihat tanganku yang tertutup perban.

“Kau tidak ingat sama sekali?”

“Tidak, apa ini semua perbuatanku?” tanyanya dengan wajah sedih dan terus memegangi tanganku.

“Tidak sepenuhnya, sebaliknya apa kau tak merasakan sakit di tangan dan kakimu? Kau juga terluka Katt.”

“Ini tidak sakit sama sekali, yang lebih menyakitkan adalah mengetahui fakta bahwa ini semua terjadi karena ulahku. Maafkan aku Luc… Apa kemarin malam aku berubah kepribadian?” pertanyaan yang ia lontarkan penuh dengan rasa penasaran.

“Iya, kau lupa?”

“Terakhir yang aku ingat saat kau pergi ke luar kota dan berpamitan kepadaku untuk segera pulang cepat. Karena sudah cukup larut, aku memutuskan untuk tidur dan tidak menunggumu, lalu… lalu…” ujarnya terbata-bata mencoba mengingat semua kejadian kemarin.

“Kau tak perlu berusaha keras untuk mengingat jika memang kau tak bisa mengingatnya. Hari ini aku bisa seharian penuh di rumah, tidak ada jadwal untuk pergi ke luar kota, mungkin kita bisa pergi berbelanja kebutuhan rumah, apa kau suka?”

“Iya… aku suka. Maafkan aku Luc, aku tak bisa mengingat kejadian kemarin,” balasnya dengan suara penuh penyesalan.

“Kau tak perlu memikirkannya, aku tak keberatan dengan luka kecil seperti ini. Aku akan turun dan memasak sarapan untuk kita berdua, segeralah bersiap-siap,” tegasku dan bangkit dari tempat dudukku.

“Iya, aku akan segera mandi,” balasnya cepat sembari berdiri.

Dia mencoba berjalan dengan kaki yang masih penuh luka itu. Sampai di lima langkah pertamanya dan…

“Yap, syukurlah aku memegangmu di waktu yang tepat,” ujarku saat memegang bahunya untuk menahan tubuhnya yang akan terjatuh.

“Ternyata masih susah untuk berjalan,” keluhnya sambil mengamati kakinya.

“Aku akan memapahmu sampai di kamar mandi. Semua barang yang kau perlukan untuk mandi akan aku letakkan di dekat bath tub, katakan saja kau perlu apa saja. Dan jika sudah selesai mandi, kau bisa berteriak memanggilku untuk membantumu berjalan lagi,” jelasku sembari memapahnya menuju kamar mandi di lantai bawah.

“Terima kasih Luc… boleh ambilkan bajuku yang ada di lemariku?” pintanya sesaat setelah sampai di kamar mandi.

“Tentu saja, nah kau bersiap dulu di sini,” perintahku saat mendudukkannya di tepi bath tub “ada yang kau butuhkan lagi?” sambungku dan mulai melepas perban di kaki dan tangannya.

“Tidak, hanya baju saja.”

“Baiklah, pintu kamar mandi tidak aku kunci. Kau tutup saja tirai itu. Bajumu akan aku letakkan di meja dekat bath tub,” jelasku sembari menunjuk tirai penutup bath tub.

“Iya.”

Aku meninggalkannya di kamar mandi dan mulai menyiapkan baju milik Katt. Lemari kayu yang ada di kamar Katt terasa begitu luas dengan jumlah baju yang tak banyak itu. Mungkin hari ini aku bisa mengajaknya untuk membeli baju. Tak kusangka aku terlalu tidak peduli dengannya, sudah sebulan tinggal bersama namun aku tidak menyadari jika bajunya tak sebanyak gadis seumurannya. Dan kaos putih serta celana jeans menjadi pilihanku untuk baju yang akan dikenakan Katt hari ini. Ya, karena memang tidak ada pilihan lain selain baju itu. Semua yang dia butuhkan sudah aku siapkan. Untunglah Katt tidak menyadari bahwa ruang tengah penuh dengan pecahan kaca, dia terlalu fokus melihat kakinya yang tak bisa digerakkan karena penuh dengan perban saat aku memapahnya menuruni tangga tadi. Setelah meletakkan baju ini, aku akan segera membersihkan sisa keributan kemarin malam dan menyiapkan sarapan.

“Katt, aku akan masuk!” teriakku di luar pintu kamar mandi.

“Iyaaaaa!” balasnya cepat dengan teriakan yang keras.

“Apa kau sudah selesai mandi?” tanyaku saat memasuki kamar mandi.

“Belum ….”

“Bajumu aku letakkan di meja ini ya, kau hanya perlu meraihnya saja. Jika sudah selesai mandi, kau teriak-teriak saja panggil namaku dan jika aku belum datang, jangan sekali-kali kau mencoba berjalan sendiri,” jelasku dari balik tirai.

“Iya… iyaaaa… lama-lama kau mirip sekali dengan Suster Maria,” ejeknya.

“Terserah kau saja. Setelah mandi, aku akan mengganti perbanmu,” balasku dan segera keluar dari kamar mandi.

Mempersiapkan kebutuhan Katt sudah aku lakukan. Tinggal menata ruang tengah yang berantakan. Pecahan kaca di mana-mana. Bantal sofa yang tak beraturan. Ruang tengahku sangat kacau, persis seperti ruangan yang baru saja diterjang badai. Aku menyapu seluruh pecahan itu dan memasukkannya ke dalam kantong kain. Tak ingin melukai petugas kebersihan, aku menghancurkan pecahan itu menjadi partikel yang sangat lembut kemudian memasukkan ke dalam kardus kecil serta memberikan peringatan bahwa di dalam kotak ini ada pecahan kaca. Aku membayangkan jika Lucy yang profesinya selalu bergelut dengan sampah sampai terluka karena ada pecahan kaca atau benda tajam lainnya yang dibuang seenaknya, pasti dia akan kesusahan untuk bekerja karena ada luka di tubuhnya. Semoga dengan cara seperti ini, aku bisa membantu para pekerja kebersihan di luar sana.

Selesai merapikan ruang tengah, aku mulai menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan. Telur mata sapi sangat cocok dihidangkan di pagi hari. Beberapa potong daging untuk menambah energi hari ini. Katt tidak terlalu suka jika sarapan dengan menu daging asap, dia lebih memilih buah dan sayuran untuk mengawali hari. Sepertinya dia sedang menjalani diet. Aku memotong alpukat dan meletakkan potongan alpukat di atas roti yang sudah dibakar. Kemudian menambahan telur mata sapi di atas roti isi alpukat itu. Sarapan untuk Katt sudah siap dan sarapan untukku roti isi daging asap ditambah telur mata sapi. Makanan sudah siap di atas meja makan, tak lupa juga susu cokelat untuk Katt dan jus wortel untukku. Aku meninggalkan dapur dan pergi ke kamarku untuk mandi. Air dingin menjadi pilihanku untuk mandi kali ini. Dengan mandi menggunakan air dingin, aku bisa mengurangi rasa kantukku yang perlahan-lahan menyerbu. Badanku menggigil kedinginan saat keluar dari kamar mandi. Aku mencoba menggerak-gerakkan badanku agar tetap hangat. Sambil terus bergerak melakukan peregangan, aku mengambil kaos polo berwarna hitam dan celana yang berwarna senada. Segera aku kenakan bajuku dan menyiapkan dompetku untuk belanja hari ini.

“Lucaaassssssss!!!!! Luuuuucaaaasssss Greysonnnnnnnn!!!”

Suara teriakan dari kamar mandi itu menjadi pertanda bahwa aku harus segera menghampirinya.

“Aku akan masuk ke kamar mandi!” teriakku di depan pintu kamar mandi utama.

“Iyaaaaa!”

“Kau mandi sangat lama hingga aku bisa melakukan banyak kegiatan sambil menunggumu mandi,” ejekku sembari mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil.

“Aku tidak bisa dibandingkan denganmu, kau tidak mandi! Tapi cuci muka saja,” balasnya mengejek.

“Ya, bisa jadi. Sarapan sudah siap, setelah sarapan kita akan segera berangkat,” jelasku dan mulai menyisir rambutnya.

“Sarapan sudah siap? Aku sangat lapar, tak bisakah kita makan sekarang?”

“Tidak, sebelum aku selesai menyisir rambutmu dan mengganti perbanmu,” tegasku.

Aku mulai memberi obat di kaki dan tangannya. Dia terlihat menahan sakit dan sesekali mengaduh. Terakhir, aku memasang perban di bagian kaki dan tangan yang terluka itu.

“Sudah, sekarang kita bisa sarapan,” jelasku sembari memapahnya.

“Terima kasih Luc, aku belum bisa membalas kebaikanmu,” balasnya.

Lihat selengkapnya