Katt sedang duduk di sofa ruang tengah. Benang wol dan tumpukan hasil rajutan mengelilinginya. Seperti biasa, aku menyiapkan sarapan untuknya sekaligus persiapan makan malam. Kamar Katt sudah aku renovasi sedemikian rupa sehingga suara dari luar tidak akan menganggunya lagi.
“Katt, aku hari ini akan pergi ke luar. Kemungkinan aku akan pulang sangat larut. Kamarmu juga sudah selesai aku perbaiki, kau bisa tidur dengan nyaman,” jelasku.
“Kau pergi ke mana?”
“Ada urusan dengan penerbit,” jawabku berbohong.
“Baiklah.”
“Kau tak perlu khawatir, untuk makan malammu sudah aku siapkan. Kau tinggal menghangatkannya saja sebelum makan,” terangku padanya sambil menata persiapan makan malamnya di meja makan.
“Baik, terima kasih. Setelah sarapan, aku ingin melanjutkan merajut di kamar. Kau akan berangkat sore ini atau sekarang?”
“Setelah kau selesai sarapan, aku akan segera berangkat. Kunci semua pintunya!” tegasku.
“Iya, aku akan membawa jam bekermu ke kamarku. Aku perlu tidur siang dan bangun untuk melanjutkan merajut.”
“Tidak boleh! Jika kau mau tidur siang dan perlu untuk bangun, kau bangun saja tanpa bantuan jam beker. Aku khawatir jika suara jam beker akan mengagetkan tidurmu dan menyebabkan kau berubah kepribadian,” larangku.
“Tidak, aku akan baik-baik saja,” ucapnya meyakinkan.
“Sekali tidak selamanya tidak!” tegasku.
“Ya, ya, ya… sudah cepat berangkat sana,” ujarnya dan mendorongku keluar rumah.
“Dengarkan kata-kataku tadi, jangan pakai jam beker atau apa pun itu, mengerti?” tegasku mengulangi perintah.
“Iyaaa …,” balasnya dengan nada yang panjang.
Aku segera masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju tempat yang telah dijanjikan. Katt melambaikan tangan sesaat sebelum aku berangkat dan mulai menutup pintu rumah. Aku bergegas untuk mencari tahu lokasi pertemuan. Sejujurnya aku belum terlalu hafal kota ini, itulah sebab mengapa aku memilih berangkat lebih awal untuk mempelajari setiap sudut kota ini dan mengetahui lokasi yang dimaksud dengan tepat.
Meskipun terbilang tidak cukup luas, namun mencari lokasi sesuai dengan pesan rahasia itu sedikit menyulitkan di sini. Tidak ada lokasi yang seperti ia maksud. Aku menghabiskan hampir tiga belas jam untuk mengetahui lokasi yang benar. Dengan usaha yang cukup keras, lokasi yang sesuai dengan pesan rahasia sudah aku temukan! Tidak ada orang yang bisa menyadari bahwa di dalam pemakaman kota terdapat rumah tua milik penjaga makam yang sama persis dengan yang tertera dalam pesan rahasia. Aku lebih memilih untuk berkeliling kota sekali lagi guna memastikan tidak ada tempat yang paling tepat kecuali rumah yang telah aku temukan tadi.
Hari sudah malam, kurang satu jam lagi tepat tengah malam. Aku mendatangi makam dengan berjalan kaki. Ya, mobil tidak bisa masuk ke area makam. Mau tidak mau mobilku harus aku parkirkan di pinggir jalan.
Suara pintu tua yang nampak sudah berusia ratusan tahun itu menggema karena ketukan yang aku berikan. Tak berselang lama, seorang pria tua dengan kacamata berbentuk oval kecil membukakan pintu untukku.
“Bonsoir, mon fils …,” sapanya dengan Bahasa Perancis yang fasih.
“Bonsoir, Monsieur …,” balasku.
“Silakan masuk,” –pintanya sembari menyilakanku masuk– “jarang sekali ada pengunjung datang ke toko kuno tengah malam,” sambungnya kemudian menatapku tajam.
“TOKO KUNO TENGAH MALAM, Anda pengirim pesan rahasia itu?” tanyaku tanpa basa-basi dengan memberikan penekanan pada sandi yang ia kirimkan padaku tempo hari.
“Seperti yang kau perkirakan, ya aku orangnya,” balasnya terkekeh dan menuangkan teh ke dalam cangkirku.
“Apa yang dilakukan seorang tua berada di tengah makam seperti ini?” tanyaku memulai obrolan ringan.
“Menjaga makam tentunya …,” balasnya masih terkekeh.
“Apa yang Anda harapkan dari membuka toko kuno di tengah makam? Hantu membeli barang antik di toko Anda?” tanyaku sarkastis.
“Harapan… harapanku membuka toko ini di sini tentunya ada orang yang akan datang tengah malam seperti ini. Bukankah berarti kau hantu?” jawabnya balik bertanya dengan tatapan memojokkan.
“Anda suka sekali memojokkan lawan bicara,” balasku.
“Bukankah kau juga?” sambungnya dengan gelak tawa.
“Tidak ada yang lucu di sini,” jawabku dengan nada meninggi.
“Kau lucu, mon fils! Kau mirip dengan Albane, ya untuk sifat yang suka langsung ke inti pembicaraan tanpa basa-basi, tapi memiliki wajah mirip dengan Zelay!” jelasnya masih menahan tawa.
“Apa Anda mengenal kedua orang itu?” tanyaku penasaran.
“Sangat, sangat mengenalnya, terutama Albane …,” kenangnya sembari meletakkan cangkir tehnya.
“Lalu apa yang membuat Anda mengirim pesan rahasia kepada saya?” tanyaku lagi.
“Ah, kau langsung pada inti tanpa berkenalan. Tidak sopan sekali,” gerutunya.