Di dalam catatan itu sudah terdaftar berbagai nama dengan waktu kematiannya. Manusia, hewan, tumbuhan, serta makhluk yang paling kecil yang ada di bumi.
***
Bita berjalan gontai, tanpa dia tahu bahwa kakinya menginjak seekor semut. Untungnya telapak sepatunya memiliki rongga, dan semut itu selamat dari himpitan. Sementara pikiran Bita terhimpit dengan kejadian di kantor kliennya. Kontrak itu bahkan belum ditandatanginya, tetapi sebenarnya tiket sudah dipegangnya, penerbangan besok ke Palu. Namun pak Roni langsung bilang, “Kita batal!” sebab gempa dan tsunami yang terjadi. Bahkan katanya, hotel tempat mereka akan melakukan kegiatan rubuh begitu saja. Oke, Bita pun meninggalkan kantor itu yang orang-orangnya seketika panik, serta melakukan rapat darurat. Segesit itu.
Satu menit yang ternyata bisa mengubah apa pun yang ada di dunia ini. Bumi yang tiba-tiba berguncang, lalu menggagalkan segala rencana manusia di hari itu, bahkan rencana manusia yang tidak merasakan guncangannya. Bita menghela napas, sambil menaiki jembatan penyeberangan. Pikirannya tiba-tiba ikut menyeberang, ke hal-hal lain yang selalu menghantui Bita.
Saat dia mendongak ke langit sore, cahaya jingga itu seperti tengah memanggil jiwanya. Jika saat ini dia ada di Palu, mungkin dia akan memandang langit itu, sembari ditelan gelombang laut. Itu akan menjadi kematian indah baginya, dan Bita tidak akan melawan. Bita bertanya-tanya, jika seperti itu apakah dia akan diadili sebagai orang yang putus asa, lantas bunuh diri. Atau seharusnya saat itu dia berusaha sedikit, seolah-olah menyelamatkan diri, sementara dia ingin laut itu menggulungnya.
Bita. Bahkan mengharapkan mati itu tidak boleh. Apa kamu lupa?
Bita terkejut sendiri, atas pikiran yang baru saja lewat. Ia lantas memalingkan wajahnya dari langit yang begitu menghipnotis. Saat dia melihat ke bawah, jalanan dipenuhi mobil yang tidak bisa bergerak. Sementara keadaan jembatan begitu sepi. Oh Tuhan, tolong aku. Jeritnya. Keadaan sepi itu tanpa ampun memberinya ide tentang kematian, yang sebenarnya dia tahu itu tidak boleh. Bita, stop! Dia berusaha menghalau pikirannya.
Bita, stop! Begitulah pikirnya. Tetapi kakinya malah berdiri di titian pagar, seperti mengajaknya mencoba meraba bagaimana rasanya mendekati kematian. Turunlah! Udara sore itu sangat tidak sehat, penuh polusi. Daripada mati perlahan, matilah sekalian. Suara klakson membahana, tanda ketidaksabaran penduduk Jakarta dalam kemacetan. Hidupmu Bita, sama macetnya dengan lalu lintas Jakarta. Apa kamu tidak menyadarinya? Pikirnya. Aku hanya merasa sangat kosong. Aku tidak memiliki alasan untuk pulang. Aku tidak memiliki siapa pun yang bahkan tahu aku masih hidup. Orang yang mencintaiku hanya Ibuku, hanya ayahku, yang sudah menuju langit itu.
Seseorang tiba-tiba mendekapnya, diikuti suara lain. Tiba-tiba dia sadar bahwa perhatian orang-orang tertuju padanya. Bahkan bunyi klason itu adalah untuknya.
***
Bara berlari, sebab matahari sudah tenggelam, sementara listrik yang mati membuat semua jalan tanpa penerangan. Berbekal senter ponselnya yang hampir kehabisan baterai, dia pun melaju dengan gelisah. Keadaan rupanya tidak sesederhana yang dia pikir. Sepanjang kaki melangkah, banyak orang panik dengan wajah bak melihat kiamat besar. Tetapi juga bukan itu yang paling mengerikan. Bangunan-bangunan rubuh, dan sepertinya banyak tubuh yang tertimpa. Masalahnya, bangunan itu tidak satu, melainkan di sepanjang jalan. Dan di sepanjang itu masing-masing ada tubuh terjepit yang berusaha meloloskan diri.
Bara meneruskan langkah dengan berat. Ada beberapa teriakan meminta pertolongan. Dia ragu antara terus melangkah, atau ikut campur dengan semua urusan itu. Namun dia memutuskan untuk berlari saja, sebab menjadi pahlawan saat itu bukan pilihan yang tepat. Pertama, dia sendiri tidak memiliki cukup energi. Kedua, dia meninggalkan mobil di belakang. Mobil sewaan. Dan yang ketiga, kawan-kawan di kota Palu pasti cemas. Keempat, tentu saja karena tidak ada penerangan. Jadi, menuju Palu lebih dulu untuk meminta pertolongan adalah ide yang baginya terbaik saat itu.