Persona

Sriwiyanti
Chapter #1

Gadis Pukul Sembilan

Diskusi rutin sudah dimulai sejak satu jam yang lalu. Hansen berdiri memandu acara di depan peserta dengan mikrofon di tangan kirinya. Beberapa orang mengacungkan tangan hendak bertanya, tapi belum satu pun ia persilakan. Tubuhnya mematung, matanya sibuk mengamati pergerakan Segara yang sedang berjalan menuju meja resepsionis, tempat mengisi buku presensi. Hansen tahu, Segara sedang berusaha mencari tahu nama seseorang, perempuan yang baru saja datang, perempuan yang selalu duduk pada deretan paling belakang, dan selalu datang setelah sesi pertama diskusi, tepat pukul sembilan.

“Mbak, tolong isi presensi dulu, ya,” ucap Segara sembari menyerahkan map berwarna merah muda, dengan dua lembar kertas di dalamnya.

“Lain kali saja ya, Mas, engga keburu udah telat,” jawab perempuan itu sambil menunduk mencari buku catatan di tasnya. Hampir tak pernah ia absen mengikuti diskusi rutin di Rumah Pelangi Sejahtera (RPS). Namun, tak satu pun namanya tercantum dalam daftar peserta. Segara hafal semuanya, kecuali perempuan itu.

“Oke, silakan yang mau bertanya.” Hansen membuka sesi tanya jawab dengan tatapan masih terpaku pada Segara yang berjalan ke arah belakang gedung. Segara masuk ke sebuah ruangan berukuran empat kali lima, lalu menutup pintu, duduk di sebuah kursi dan berputar menghadap jendela. Itulah ruang kerjanya sejak bergabung di RPS. Jendela ruangan itu bersisian dengan tempat parkir. Tatapannya tertuju pada sebuah sepeda motor berwarna biru milik perempuan itu. Jaket gunung berwarna abu dan helm tanpa kaca digantung pada tangkai spion. Tiba-tiba mata Segara terhenti pada kunci yang belum sempat dicabut oleh pemiliknya. Segara bergegas keluar, ini adalah satu-satunya peluang untuk mengorek informasi tentang identitas perempuan itu.

Bangunan RPS yang Segara dan Hansen dirikan dua tahun lalu adalah sebuah rumah tipe enam puluh, tidak terlalu kecil namun tidak juga membuat lelah ketika harus mengililinginya. Segara berputar melewati ruang belakang yang disulap menjadi kedai kopi, lalu membuka pintu samping menuju tempat parkir. Ia mencabut kunci itu dan menimangnya dengan ragu.

Dari pintu samping tempat Segara berdiri, terdengar suara Hansen menjawab pertanyaan seorang peserta, “Kalau ada yang ragu bahwa homoseksual adalah genetik, sesuatu yang tak bisa kita tolak dari Tuhan, suruh dia datang ke sini. Saya akan ceritakan kisah hidup saya sendiri, juga latar belakang pasangan saya saat ini. Kami berdua lahir dan tumbuh dalam keluarga yang bahagia, no pain! Kami adalah anak-anak yang melewati fase golden age dengan penuh senyuman. Lalu apa? Mereka bilang gay itu karena lingkungan, karena trauma masa kecil, kehilangan figur orang tua. Come on! Bawa penelitian itu ke hadapan saya!” jelas Hansen ditutup tepuk tangan meriah peserta, yang notabene gay, lesbian, dan transgender.

“Ada kok orang yang menganggap homoseksual itu hanya mementingkan kontak fisik, penyaluran nafsu seksual. Id yang tak bisa dikendalikan, id yang merupakan keinginan dasar manusia, seperti anak manja yang selalu mau dituruti. Apa benar?” tanya seorang perempuan.

Segara yang tengah berdiri di sisi daun pintu dapat melihat siapa yang bertanya. Perempuan pukul sembilan, yang gantungan kunci motornya sebuah simbol laki-laki dan perempuan. Segara yakin, perempuan itu heteroseksual. Lalu untuk apa ia di sini.

Lihat selengkapnya