Persona

Sriwiyanti
Chapter #2

Awal yang Keliru

Percikan ombak menyentuh lembut wajah Sutarji. Pemuda dua puluh tahun itu baru pertama kali menaiki kapal feri, dari pelabuhan Lembar di Lombok Barat menuju Padang Bai di Bali. Setelah menghabiskan seluruh usianya di tengah keluarga besar, kini ia mencoba peruntungan. Ia anak terakhir dari enam orang bersaudara, terlahir dari ibu yang menjadi istri kedua membuat Sutarji harus tangguh menghadapi dunia. Terlebih setelah ibunya bercerai, Sutarji memilih untuk menjauh dari keluarga besar bapaknya. Ia muak mendengar ibunya dicap sebagai wanita penggoda.

Memang tak sedikit pelaku poligami di pulau Lombok, terutama di desa tempat tinggal Sutarji. Pernikahan kedua yang hanya disaksikan penghulu setempat, tanpa selebrasi yang berarti. Bahkan, tanpa sepengetahuan istri pertama, keluarga besar, juga tidak dicatat negara. Maka tak ada satu pun anak yang memilih terlahir pada keluarga dengan dua orang ibu di dalamnya.

Sutarji termenung, menatap jauh ke sebuah titik hitam di ujung medan penglihatannya. Itu gunung Agung, yang sering dibicarakan orang-orang yang pernah menyeberang ke Bali. Termasuk tetangga Sutarji yang pernah mengerjakan proyek di pulau Dewata. Ketika warga desa sudah membuat rumah, membuat kandang ayam dan bebek, maka pergi ke pulau seberang adalah alternatif terakhir untuk bertahan hidup. Lagipula, bayaran di Bali jauh lebih tinggi, apalagi jika mengerjakan aspal milik pemerintah. Bayarannya bisa tiga kali lipat dari pekerja serabutan di desanya. Maka demi membayangkan uangnya yang melimpah selama enam bulan ke depan, Sutarji mengulum senyum.

***

Namanya Sulastri, ia berasal dari Praya, kota kabupaten Lombok Tengah. Namun sudah setahun tinggal di Gianyar, bekerja sebagai pelayan di sebuah warung makan. Ketika istirahat bekerja, Sutarji selalu menyempatkan makan di warung itu. Melakukan beberapa trik supaya Sulastri mengingatnya dari puluhan pekerja yang singgah. Sutarji selalu memesan menu yang sama, nasi telur tanpa sayur, dikasih sedikit garam di pinggir piring. Lalu air putih diberi tiga potong es batu. Sulastri tersenyum setiap menyerahkan nampan, lalu Sutarji tenggelam dalam aneka fantasi yang ia ciptakan.

Tak butuh waktu lama, Sulastri menjadi dekat dengan Sutarji. Kesamaan daerah asal seringkali menjadi bahan pembicaraan mereka. Sutarji yang sudah tiga bulan di Bali, mulai rindu menggunakan bahasa daerahnya, dan hanya pada Sulastri ia bisa bercengkerama tanpa keterbatasan bahasa.

“Mau menikah sama tiang[1]?” ucap Sutarji pada suatu hari.

Sulastri tak menjawab, ia menunduk, jantungnya memburu, keringat tiba-tiba membanjiri keningnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sulastri mendengar pertanyaan semacam itu. Menikah.

Lambat laun, pertanyaan Sutarji mengusik pendirian Sulastri. Ia tahu, menikah dalam tradisi suku Sasak berarti harus mengendap malam-malam untuk dibawa ke rumah keluarga mempelai pria. Di sana calon istri akan diperkenalkan pada keluarga besar calon suami. Lalu keesokan harinya, pihak keluarga laki-laki, atau kepala dusun setempat akan mendatangi rumah orang tua perempuan, mengabarkan bahwa anaknya sudah berada di rumah calon suaminya. Setelah itu barulah proses pernikahan bisa dilanjutkan.

“Sudah memikirkan pertanyaan tiang?” tanya Sutarji di suatu siang. Ia melepas handuk kecil yang disampirkan di bahu, mengusap wajahnya yang penuh keringat.

“Belum, Kak, Side[2] sabar dulu, nggih.

Sulastri meletakkan sepiring nasi hangat, juga air es pesanan Sutarji. Ia mencuri pandang pada wajah lelaki itu. Umur mereka tidak terpaut jauh, Sulastri hanya lebih tua dua tahun darinya. Tapi raut wajah Sutarji penuh tanggung jawab. Alisnya yang tebal dengan bola mata hitam pekat membuat siapapun merasa yakin ketika menatapnya. Hidungnya yang kecil dan sedikit mancung, bibirnya yang tipis akan membuatmu seperti melihat anak-anak yang menggemaskan. Sulastri salah tingkah, ia berjalan mundur hingga menabrak salah satu meja di belakangnya.

Lihat selengkapnya