Sejujurnya Hansen tak pernah merasa aman sejak gadis itu datang. Bukan semata karena Segara sering keluar ruang kerjanya saat diskusi dan duduk di salah satu kursi peserta dengan wajah semringah. Namun, Hansen memiliki firasat buruk yang bahkan ia sendiri sulit untuk mengerti.
Pagi itu Hansen bangun lebih awal, pukul tujuh pagi. Ia menyibak selimut Segara yang masih tidur pulas di sampingnya. Perasaan insecure membuatnya mandi hampir setengah jam, lalu duduk di depan cermin, membersihkan jambang tipis di dagu. Ia memerhatikan garis wajahnya yang berbentuk oval, bulu alis yang tebal, hidung yang proporsional dengan bentuk bibir yang tipis, lalu dilengkapi rahang yang kokoh. Ia mengoleskan pomade di rambut bergaya spike, menarik sisir pada rambut lurusnya ke atas, membiarkan keningnya yang putih terlihat sempurna.
“Widih, masih pagi udah rapi kayak pejabat,” ujar Segara sambil menyambar handuk di balkon samping kamar.
“Udah, mandi sana! Bau.” Hansen menyumpal hidung. Ia kembali sibuk memilih baju yang cocok, rasanya semua baju sudah pernah ia pakai. Diraihnya salah satu kemeja bergaris vertikal biru milik Segara. Lalu mematut dirinya di cermin. Hansen yakin, harusnya memang tak ada alasan bagi Segara melirik orang lain. Seluruh hal terbaik sudah tergambar di wajahnya.
“Cakep tuh!” ucap Segara sambil mengeringkan rambut.
“Thank you!”
Hansen masih sibuk memasukkan kemeja ke dalam celana jins berwarna biru. Berbeda dengan Segara yang tak butuh waktu lama untuk berpakaian, mengikat rambut sebahu dengan karet gelang, lalu menyemprotkan parfum sembarang. Hanya dengan kaos oblong dan kemeja kotak-kotak yang tak dikancing, ia sudah keluar membunyikan klakson, memburu Hansen untuk menyusul.
Pagi itu akan datang seorang pemateri dari komunitas LGBT Surabaya. Sudah menjadi agenda rutin bagi RPS untuk menerima tamu sebulan sekali. Narasumber akan duduk bertiga dengan Hansen dan moderator. Lalu membahas satu tema yang berkisar tentang orientasi seksual, tantangan dan hambatan, hingga penelitian-penelitian terbaru yang terkait.
Kini nama RPS memang sudah besar, diskusinya dihadiri banyak relawan, menjangkau berbagai lapisan masyarakat dan daerah. Berbeda dengan awal berdiri ketika keberadaan mereka masih dicekal.
***
Segara menyambut Cak Budi demi menemani Hansen, bercengkerama sebentar lalu memilih masuk ke ruang kerjanya. Ia mematung di depan komputer, bersama akuarium kecil dan bunga anggrek. Ruang kerja bagi Segara adalah tempat persembunyian, tertutup, dan hanya didatangi oleh Hansen. Meski RPS memiliki tiga karyawan lain, sejak awal Segara menginginkan ruangan yang terpisah. Ia hanya tak nyaman ketika harus duduk bersama membicarakan topik yang nun jauh di sana, keluarganya menganggap homoseksual sebagai hal tabu, penyakit, dan dosa yang harus disembuhkan. Terlebih ia tak ingin identitasnya diketahui banyak orang.
Perempuan itu datang lagi, ia memarkirkan motor persis di samping jendela ruang kerja Segara. Dari sudut itu, Segara bisa leluasa mengobservasi. Jarang sekali ia memerhatikan perempuan berjilbab, sejauh ini ia hanya teringat pada nenek dan ibunya. Namun perempuan dengan jilbab hitam itu benar-benar menyita atensi. Mata Segara tak berkedip menatap gerak-geriknya, cara melepas helm yang terburu-buru, kunci motor yang lagi-lagi tak dicabut, dan ternyata ponselnya pun masih tergeletak di bagasi depan.
Segara ingin bangkit untuk mengingatkannya. Ia sudah punya pembenaran, bukan rasa penasaran yang membuatnya mendekat, tetapi tanggung jawab sebagai pendiri RPS, tentu keselamatan barang pengunjung itu penting. Semua alasan itu berhasil membuatnya bangkit dari kursi. Ia bergegas membuka pintu.
Namun, sebuah kesadaran datang bagai apel jatuh di atas kepalanya. Segara tiba-tiba dihinggapi fakta bahwa selama ini ia hanya termakan sugesti sang ibu, tentang calon istri yang baik, berjilbab, meneduhkan, dan tentu saja berjenis kelamin perempuan. Segara mengurungkan niat, menutup pintu ragu dan rasa ingin tahu yang menggelitiknya.