Malam itu Sutarji tiba di Sentana, Lombok Tengah. Penduduk satu gubuk berkumpul di rumah Kak Manah, kecuali Herlina. Pukul delapan malam, perempuan dua puluh tahun itu meniup lampu teplok yang digantung pada tembok rumah, membiarkan anaknya terlelap tanpa cahaya. Herlina tahu kabar itu, Sutarji telah pulang dari Bali, tapi belum mengunjunginya. Suaminya itu tentu sibuk menjawab pertanyaan keluarga, juga menjelaskan siapa calon istri barunya.
Herlina teringat, ia dulu pernah merasakan itu, menjadi pusat perhatian semua orang, ditanya tentang berbagai hal, lalu disanjung-sanjung. Rambutnya yang hitam lurus hingga pinggang, alisnya yang tebal, matanya yang berwarna cokelat, bibirnya yang tipis, dan lesung pipinya yang membuat Sutarji bertekuk lutut.
***
Ketika Sutarji mengetuk pintu keesokan hari, Herlina membukanya perlahan, menimbulkan derit besi tua yang berkarat. Bayi mungil itu masih di gendongannya, terlelap usai sarapan dengan nasi hangat yang diberi air dan garam. Herlina menatap suaminya tanpa berkata-kata.
Sutarji menutup pintu, duduk di tikar usang yang digelar pada lantai tanah, dinginnya menembus sarung bermotif kotak-kotak yang ia kenakan. Herlina masuk ke kamar untuk menidurkan bayinya di atas ranjang kayu. Lalu keluar menemui Sutarji yang sedang menyandarkan kepala ke tembok dan menatap langit-langit.
“Tiang diceraikan saja,” ujar Herlina setelah duduk berhadapan dengan Sutarji.
“Saya mau poligami biar anak kita bisa tetap tinggal sama kedua orang tuanya.”
“Tiang ndak mau, tiang juga sudah pasrah, tidak ada yang bisa diselamatkan dari rumah tangga ini. Membesarkan anak-anak di sini hanya akan membuat dia tumbuh dengan ibu yang selalu sakit hati. Tiang ndak mau.”
Herlina menengadah, berharap genangan air di matanya tidak menetes saat itu. Ia menarik nafas panjang, mencari sisa kekuatan pada sudut-sudut rumah. Sedangkan Sutarji hanya bisa menggigit bibir bawahnya sembari membenturkan kepala belakangnya ke tembok dengan pelan dan konstan. Berpikir keras mencari kata-kata yang tepat.
“Saya masih mau bareng-bareng sama kalian berdua.”
“Kalau kamu memang mau itu, kamu tidak akan membawa wanita lain pulang. Ceraikan saja tiang sekarang, sudah cukup sabar tiang selama ini!” sela Herlina dengan suara yang mulai meninggi. Ia juga sudah mengganti panggilannya dengan kamu.
“Saya tidak mau!” bentak Sutarji sambil menegakkan kepala.
“Sadar Sutarji, kamu itu ndak punya apa-apa. Seluas apapun tanah bapakmu, tidak akan ada warisan yang sampai untuk anak yang tak dicatat negara. Rumah cuma satu, kamar tidur juga satu, kita bertiga saja sudah sesak di rumah ini. Kenapa harus kamu tambah anggotanya dengan membawa orang asing. Mau kamu taruh dimana istri barumu?” teriak Herlina sambil mengatur napas.
“Saya bisa buat rumah yang jauh lebih besar dari ini!”
“Uang dari mana? Kamu mau maling sapi demi selangkangan baru?”
“Kamu engga bisa jaga mulutmu di depan suamimu?”
“Saya sudah tidak punya suami sejak wanita itu menginjakkan kaki di desa ini. Selama ini saya coba sabar dalam kesulitan, menunggu kamu belajar bertanggung jawab. Kamu pergi ke Bali tanpa pernah menafkahi kami. Saya harus menjadi buruh tani dan menanam padi sambil menggendong bayi delapan bulan. Apa kamu pernah mikir? Paling tidak apa kamu pernah bayangkan rasanya?”
“Saya akan perbaiki semuanya.”
“Perbaiki dengan apa? Dengan membawa wanita lain menjadi istri kedua secara diam-diam, seperti bapak mengawini ibumu?”