Jika ada penyesalan terbesar yang dilakukan oleh seorang perempuan selama hidupnya, maka itu adalah menikah dengan laki-laki yang akhirnya berkhianat. Seminggu setelah bercerai dengan Sutarji, Herlina masih saja tak percaya bahwa laki-laki yang membawa gadis lain itu ialah laki-laki yang sama, yang dulu menjanjikan masa depan yang lebih baik, yang penuh kebersamaan. Nyatanya, jalan cerita bisa saja berbelok drastis. Naasnya, Herlina tak punya amunisi untuk menyandang status barunya, janda.
Di desa Kelana, Herlina menjadi buah bibir seperti saat masih gadis. Bedanya, dulu kesan cantik dan ramah yang menempel padanya. Kini, kisah nasib buruk seorang perempuan yang tak punya banyak pilihan. Menjadi janda memang bukan aib, tapi banyak orang yang menganggap perceraian selalu saja menyiratkan keegoisan, apapun alasannya. Mau tak mau Herlina harus menelan semua atribut itu.
Ada hari-hari di mana Herlina benar-benar ingin bersembunyi di gua tanpa manusia. Setiap Senin, Rabu, dan Sabtu adalah hari pemekelan, hari dimana-mana orang berkumpul di pasar meski tak butuh berbelanja, tapi mereka butuh asupan gosip baru.
Pasar itu tak jauh dari rumahnya. Pasar itu juga yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan ketika tak ada panggilan untuk menanam padi di sawah orang. Ayahnya yang telah meninggal hanya mewariskan sepetak sawah yang lokasinya persis di bawah bukit, terlalu tinggi untuk dijangkau oleh irigasi yang dibuat pemerintah. Maka sawah itu hanya digarap ketika musim hujan, atau ditanami cabe saat kemarau. Lantas Herlina, adik, dan ibunya memilih untuk berjualan es cendol di pasar.
Malangnya, Herlina selalu menjadi bulan-bulanan pertanyaan dari para pembeli yang notabene tetangga satu desa. “Kurang puas apa sih suamimu, Her? Kalau aku jadi kamu, udah tak potong itunya.” “Kayak gitu jadinya kalau kita biarin suami ke Bali, Kalimantan, atau Malaysia, pulangnya mereka bawa istri, hih!” Serta masih banyak lagi komentar lain yang dijawab Herlina dengan senyuman.
Meski berulangkali Herlina ingin membungkam mulut-mulut itu, tapi nyatanya ia hanya seorang janda. Bagi warga desa itu, perempuan beranak tanpa suami adalah kelompok terlemah yang paling empuk untuk dibincangkan. Bagi mereka, perempuan tanpa laki-laki tak akan bisa berdiri tegak.
***
“Tiang cari upah bersihkan tembakau sajalah, Inaq[1], ndak mau jual cendol lagi,” ucap Herlina suatu hari sambil mengemas toples-toples besar yang berisi santan dan air gula.
“Tapi harus tetap jualan, Her, anakmu memang sekarang baru setahun, tapi lambat laun kebutuhannya semakin banyak. Kamu juga mau dia sekolah, kan? Upah tembakau itu musiman dan tidak seberapa jumlahnya.”
“Ndak kuat tiang dengar omongan orang, Inaq,” sela Herlina sambil menarik napas panjang. Anaknya duduk di dekatnya, memainkan air di teko plastik berwarna hijau.
“Ya Allah, Her. Inaq Surti, Puk Kasih, ndak usah didengar. Mereka memang orang-orang yang suka basa-basi biar orang lain sakit hati. Semua orang sudah tahu itu, Her.”
“Ndaklah Inaq, biar side saja yang jualan sama Nita. Tiang juga ndak mau digoda-goda.”
Ibunya pun tahu kenyataan itu, warung es cendol mereka jadi ramai sejak Herlina menjanda dan ikut berjualan. Tukang ojek perempatan mulai pindah mangkal di depan warung, memesan es dan camilan. Berikut pedagang baju dan alat pancing dari desa sebelah. Nampaknya, merayu janda adalah hal yang paling mungkin bagi mereka yang ingin menikah, tapi tidak memiliki banyak uang. Jelas, karena maskawin seorang janda bisa setengah harga dari perawan di desa itu. Lagipula, lekuk tubuh dan wajah Herlina yang masih dua puluh tahun tak ubahnya kembang desa.
“Kita memang jadi laris sekarang, Her, lihat saja warung-warung sebelah, sepi.”
“Iya, Inaq, tapi tiang ndak bisa kayak gini. Apa bedanya dengan tiang menjual diri?”
“Beda, Her, kamu hanya dilihat-lihat dan diajak ngobrol. Apa salahnya kalau kamu hanya menjawab seadanya?”