Tak ada yang menduga bahwa hari ketika ia pergi bersama bapaknya ke pantai ketika berusia satu tahun adalah kali terakhir mereka bertemu, hingga kini Tarlin duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia tumbuh dalam pengasuhan orangtua tunggal, Herlina yang tegas dan disiplin. Tersebab oleh bara kebencian di dadanya, Herlina terus berjanji untuk membuktikan kepada semua orang, termasuk pada dirinya sendiri. Bahwa meski janda sekalipun, ia ingin anaknya tumbuh dengan baik.
“Tiang ndak suka sekolah, Inaq,” ucap Tarlin suatu hari dengan tas kebesaran yang dibeli di pasar rombengan.
“Kenapa sih, Tarlin?” tanya Herlina yang masih menekuni pekerjaannya, melipat tembakau yang sudah dipetik, sebelum diiris tipis-tipis. Tarlin selalu ikut ibunya mengerjakan PR di berugak[1], di depan oven tembakau milik Pak Slamet. Lalu pulang menemui nenek ketika perutnya mulai lapar.
“Mereka bilang tiang anak haram kayak Selung, selung-selung araq[2],” jelas Tarlin, ia mengucek matanya hampir menangis.
“Ya bedalah, Tarlin, kamu itu punya bapak. Kalau ibunya si Selung itu ndak pernah nikah, ndak ada yang tahu siapa bapaknya. Inaq kan sering cerita, dulu bapakmu itu baik. Tapi tiba-tiba dia harus…,” suara Herlina terputus, ia mengernyitkan dahi, mencari kalimat yang pas untuk Tarlin. “Bapak dan Inaq harus pisah, dia pergi ke Arab Saudi, mungkin sekarang sudah jadi haji, harusnya kamu bangga, Tarlin. Orang di desa kita saja belum ada yang jadi pak haji.”
“Kenapa kita ndak diajak? Kenapa dia juga punya istri, Bibi Lastri?” Ia mengenal Lastri yang beberapa kali pernah menemuinya untuk mengantar pakaian, makanan, kadang-kadang uang. Namun, tetap saja, Tarlin tak menyukai perempuan itu.
“Kamu belum mengerti, Tarlin, yang harus kamu tahu, kamu punya bapak. Keluarga bapakmu terhormat di Sentana. Dalam namamu saja, ada namanya. Tarlin, Sutarji dan Herlina, itu artinya,” kata Herlina, sambil tetap menyortir daun tembakau yang busuk.
“Tiang mau ganti nama saja.”
Tarlin berlari meninggalkan ibunya. Tas ransel itu bergoyang di punggung kecilnya. Tarlin enggan jika dalam namanya ada nama orang lain yang sangat asing. Barangkali Sutarji akan menjadi orang yang akan ia benci kelak jika mereka bertemu.
***
“Tiang mau ganti nama, Papuq[3],” kata Tarlin begitu sampai rumah. Neneknya hanya mengerutkan kening tak mengerti. Perempuan itu sudah ringkih, tak mampu lagi bekerja. Ia hanya menunggu Nita pulang dari menjaga toko kelontong Tuaq[4] Idris, juga menanti Herlina dari buruh tembakau, dan Tarlin yang kini cemberut di depannya.
“Ganti nama kenapa, Tatiq[5]?” tanya nenek, lalu menyentuh tangan Tarlin supaya duduk di sampingnya, di ranjang kayu beralaskan tikar.
“Tarlin itu artinya Sutarji dan Herlina. Tiang ndak mau!”
“Oh begitu artinya? Papuq baru tahu. Sudah! Ganti saja, Papuq setuju.”
“Tapi, Inaq kayaknya ndak mau.”
“Nanti Papuq yang bicara, kamu pikirkan saja namamu sendiri. Nanti kalau Papuq yang kasih nama, malah jelek. Kamu coba tanya ke gurumu di sekolah, yang artinya bagus. Jangan sampai jadi laki-laki seperti bapakmu,” jelas nenek dengan mata menerawang jauh. Ingatannya menembus batas-batas waktu. Terlempar pada rasa sakit hati yang ditinggalkan oleh mantan menantunya itu. Laki-laki yang membuat Herlina tak menggubris pria mana pun hingga delapan tahun.
***
“Saya itu punya bapak!” Tarlin berteriak dengan mata melotot. Badannya memang kecil, tapi ia tak pernah diam ketika mendengar namanya menjadi bahan ejekan.
“Mana bapakmu? Kalaupun orang bercerai, mereka tetap dikunjungi sama bapaknya! Kamu memang selung-selung araq[6],” ejek salah satu anak berbadan gemuk.
“Hei kalian jangan main-main sama, Tarlin. Dia itu titisan Segara Anak. Kalian lihat gunung Rinjani yang di luar itu ndak?” tanya seorang anak perempuan yang tiba-tiba bicara tanpa diminta. Mereka semua terdiam, mengalihkan pandangan dari lapangan sekolah ke sebuah garis melengkung seperti gunung, nun jauh di sana.