Sejak awal gadis itu tak percaya ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Kenyamanan dalam persahabatan seringkali membuatnya bingung, apakah itu cinta atau bukan. Ia seringkali tak bisa membedakan perhatian yang diberikan Segara sebagai seorang sahabat, atau seorang laki-laki yang ingin menikahinya kelak. Mereka sudah berteman sejak kanak-kanak, berangkat sekolah bersama, mengaji di surau, melamun di sungai, saling membela dan berbagi suka-duka, hingga masuk SMA ke sekolah yang sama.
Lale Rakayu sejujurnya memikul sebuah beban yang sangat berat. Berulangkali ibunya menaruh curiga pada hubungannya dengan Segara.
“Ingat, Ayu, di namamu itu ada kata Lale[1]. Artinya apa? Kamu jangan mempermalukan nenek moyangmu dengan berharap menikah sama orang biasa.”
“Orang biasa apa sih, Inaq, semuanya ya sama saja.”
“Beda, Ayu. Begitu kamu lahir, kamu sudah dididik dengan cara kita. Bagaimana tata krama dijunjung tinggi, bagaimana adat menyelamatkan kita dari keserakahan, kebodohan. Bapakmu punya tanggung jawab yang besar, dia bukan orang biasa, kita yang menjaga pakem-pakem Gumi Sasak.”
“Pakem apa sih, Inaq? Semua manusia sama saja.”
“Iya, semua manusia sama. Tapi tetap ada Lalu dan Raden di Tanah Sasak ini. Kamu hanya boleh menikah dengan segelintir manusia itu.”
“Ayu belum mau menikah, mungkin engga akan pernah menikah!”
Lale Rakayu hanya berani mengatakan kalimat itu pada ibunya. Jika saja bapaknya tahu, mungkin ia sudah diusir sebelum mereka dibuat malu. Seperti kakaknya yang jarang pulang sejak menikah dengan teman kuliahnya di Surabaya, yang tentu bukan keturunan bangsawan Sasak.
“Cukup kakakmu, Ayu,” tutup ibunya, lalu meninggalkan Lale sendirian di kamar.
Gadis bermata bulat itu menelungkupkan wajah di bantal. Zaman sudah berbeda, harusnya ia tak perlu dikekang dalam aturan yang lazimnya punah ratusan tahun silam. Ia meraih ponsel dari balik selimut.
Nanti ke Pasar Sore, ya.
Sebuah pesan berkedip di layar ponsel polifoniknya usai bunyi bip. Seluruh kecemasan di wajahnya menguap berganti senyuman yang merekah. Gadis itu sadar, bahkan sejak mereka masih kanak-kanak, ia telah menanam benih perasaan yang berbeda dengan yang ditanam Segara. Lale Rakayu menanam benih cinta, sedangkan Segara persahabatan.
***
“Kamu kenapa, sih, kok saya ndak boleh jemput ke rumahmu?” tanya Segara ketika mereka bertemu di tempat parkir sepeda di Pasar Sore.
“Biasa, Mamiq[2] suka curigaan,” jawab Lale Rakayu yang sedang memperbaiki rok yang terlipat.
“O, takut sama saya, ya? Kalau nanti maling[3] anaknya yang paling cantik?”
“Ya, gitulah, setelah kakak pergi, giliran saya yang masuk penjara.”
“Serius amat, kamu pasti lagi butuh tong sampah. Nanti, ya, setelah saya belikan papuq jilbab,” ujar Segara yang langsung memimpin jalan Lale Rakayu menuju kerumunan pedagang.
“Kamu yang pilihkan, ya. Itu bagus ndak, sih?” Segara menunjuk ke sebuah jilbab berwarna cokelat yang digantung.
“Ndaklah, warnanya terlalu gelap, modelnya terlalu ramai. Nah itu tuh, coba lihat yang warna krem, engga ada renda-renda heboh kayak gitu,” jelas Lale Rakayu, lalu meminta pedagang membungkusnya tanpa menunggu pendapat Segara. Lagipula, laki-laki itu pasti mengangguk-ngangguk saja. Ia tahu, neneknya dekat dengan Lale Rakayu, dan gadis di sampingnya itu pasti lebih tahu apa yang diinginkan oleh neneknya.
“Habis ini kutraktir, tenang saja,” ucap Segara setelah menerima plastik hitam dari pedagang.
“Kamu nyolong dimana?” sela Lale Rakayu.
“Enak saja, kamu sih enak duit tinggal minta. Ini gaji pertama saya ngajar les.” Segara membuka dompet memperlihatkan dua lembar lima puluh ribuan.