Persona

Sriwiyanti
Chapter #9

Mencari Titik Terang

Sejak mengetahui sebaris fakta tentang Anjani, Segara memulai pencariannya. Ia memasang indera pada segala hal yang berkaitan dengan kata-kata Dewi Anjani, Komunitas Peduli Keluarga Indonesia (KPKI), Tim Riset, dan sebaris email yang tak ia temukan pada media sosial mana pun.

Segara termenung di depan layar laptop di ruang kerjanya. Kursor yang terarah pada kolom pencarian twitter hanya berkedip pasrah. Tak ada Dewi Anjani yang ia cari, hanya Dewi yang lain, atau Anjani yang lain. Dengan berbagai foto profil close up yang membuat Segara mual. Bisa-bisanya penyakit narsistik menjangkiti semua orang, pikirnya. Ia menutup layar laptop tanpa mematikannya, lalu melangkah keluar menemui Devina di meja resepsionis.

“Belum ada titik terang, Dev.”

“Biarin aja, sih, aku malah udah lupain.” Devina tetap fokus pada layar komputer di hadapannya. “Eh by the way kamu penasaran banget sama cewek itu, kenapa, sih? Pantas saja Hansen jealous minta ampun.”

“Penasaran gimana? Kamu kan tahu sendiri gara-gara orang asing yang kita engga tahu siapa, RPS dirusuhi lagi setelah setahun adem ayem,” kilah Segara dengan kening berkerut, meyakinkan diri bahwa itu memang alasan tunggalnya mencari informasi tentang Anjani. Lagipula, menurutnya mustahil ia memiliki ketertarikan pada perempuan. Satu-satunya perempuan yang pernah sangat dekat dengannya hanya Lale Rakayu. Selebihnya hanya teman biasa dan tak pernah ada percik-percik hangat di hatinya.

“Kita lihat sabtu besok, deh, dia datang apa engga,” jawab Devina yang kini sibuk dengan ponselnya. “Eh, lihat nih!” sambungnya terburu-buru. Segara mengitari meja Devina, matanya tertuju pada sebuah poster di akun Instagram Devina. Seminar parenting yang dimoderatori Anjani, fotonya bersama tiga pembicara berderet horizontal. Segara sigap mencatat lokasi acara di secarik kertas. Kamis besok ia pastikan duduk pada salah satu kursi di ruangan itu.

***

“Kamu mau kemana, sih?” tanya Hansen yang masih mengucek mata setelah menyibak bed cover berwarna putih hingga dada. Pukul tujuh, masih terlalu pagi bagi mereka yang begadang menonton film hingga subuh.

“Aku kan sudah bilang semalam, Sayang, hari ini bakal pergi pagi. Sudah ada janji sama klien.” Segara mematung di depan lemari, mencari kemeja yang cocok untuk celana kain hitamnya.

“Manis banget jawabnya, terus kamu ngapain coba resmi banget. Tumben dandan lama-lama, biasanya langsung sambar aja.”

Hansen berjalan mengambil susu hangat yang dibuatkan Segara. Sudah menjadi aturan tak tertulis, siapa yang bangun lebih pagi akan membuat minum, lalu yang terakhir merapikan tempat tidur. Hidup bersama selama lima tahun membuat mereka memiliki pola hidup yang sudah terstruktur dan detail. Kapan harus kerja bakti urusan domestik, mulai dari mengantar laundry, mencuci piring, sesekali membuat makan malam spesial, hingga menelpon cleaning service sebulan sekali.

“Klien siapa, sih? Dari mana? Perusahaan apa?” cecar Hansen.

“Ya ampun, Sayang, kamu berlebihan banget. Ini klien baru, restoran di Jalan Pelita minta desain logo.”

“Coba kamu ngaca, deh, kamu engga pernah berdandan kayak gitu. Celana kain hitam, sepatu pantofel yang sudah disemir, kemeja lengan panjang polos. Tinggal tambah dasi dan jas aja kamu udah kayak pengantin laki-laki.”

“Aku ganti saja, deh, biar engga ada perang dunia ketiga.”

Segara melepas kancing kemeja, menyambar sebuah kaos kerah berwarna dongker, memakai jam tangan di sebelah kanan, lalu mengikat rambut gondrongnya yang meliuk-liuk. Tak lupa mengganti sepatu pantofel dengan kets berwarna abu.

“Kamu engga marah, kan?” lanjut Hansen demi melihat Segara yang mengganti kostum tanpa berbicara. “Hei, Yang. Jangan gitu dong, kok marah balik.”

“Engga marah, kok, tapi kamu itu harus belajar untuk membuang pikiran negatifmu sendiri. Klienku cewek kok dan udah berumur. Jadi please, aku engga mungkin tertarik.” Segara menyambar tas selempang di gantungan baju.

“Hati-hati, ya, sorry.

Segara menutup pintu kamar, melewati ruang tengah dan ruang tamu, mengambil kunci motor yang tergeletak di samping televisi. Ia menggigit bibir bawahnya, perasaan bersalah pada Hansen tiba-tiba menyelinap. Betapapun menyebalkannya Hansen ketika cemburu, tetap saja tak cukup menjadi alasan untuk ia bohongi.

***

Seminar Parenting: Melek Teknologi, Selamatkan Generasi

Segara membaca spanduk yang tercetak di pintu masuk gedung. Lalu meneliti sederet supporter acara, mulai dari pemerintah daerah, supermarket, radio, hingga KPKI.

Lihat selengkapnya