Setelah berterus terang pada Lale Rakayu, Segara tahu hubungan mereka akan seperti apa, tak ada tegur sapa, seperti dua manusia yang asing. Bahkan ketika berpapasan pun, Lale Rakayu enggan menatapnya. Segara mencoba menelan kenyataan itu, ia percaya kejujuran yang pahit akan bermuara pada ketenangan. Ia tak ingin menyakiti Lale Rakayu dalam cangkang persahabatan, seperti menjeratnya dalam ketidakpastian yang penuh harapan.
Meski Segara belum menerima ajakan Hansen untuk berpacaran. Ia sudah menyatakan penerimaan di dalam hatinya. Bahkan tiga bulan yang lalu ketika Hansen baru pindah ke sekolahnya, ia sudah merasakan gejolak yang berbeda dari teman-teman prianya yang lain. Hansen adalah cinta pertama yang tak mampu ia definisi. Rasa ingin bertemu, ingin melihatnya, berpadu dengan seluruh keraguan yang bersarang menahan langkahnya, seperti jaring laba-laba yang berjelaga dan berkelindan.
Seminggu setelah Hansen menyatakan perasaannya, Segara belum juga memberi kepastian. Segara tahu betul keinginannya untuk bersama Hansen. Namun, ketika Hansen mengajaknya terikat dalam sebuah hubungan yang dekat, Segara justru diam dan termenung di pinggir sungai. Ia teringat bahwa di sungai itulah ia selalu bercengkerama dengan Lale Rakayu, perempuan yang entah kenapa terus mengusik keyakinannya.
Sebenarnya, tidak hanya Lale Rakayu yang membuat Segara ragu untuk mengatakan ‘iya’ pada Hansen. Segara tak mungkin lupa hari-hari ketika mengaji di surau, mendengarkan petuah agama, dan kata-kata nenek tentang menjadi manusia yang lurus. Segara tak pernah benar-benar mencari arti dari kalimat ‘menjadi manusia yang lurus’, hingga ia terbentur oleh perasaannya sendiri yang menyalahi garis normal. Bertolak belakang dengan semua nilai yang ia anut, juga dengan semua norma lingkungan tempat ia hidup. Budaya, agama, keluarga, telah mengatur hal-hal yang sangat privasi, hingga pada ranah dengan siapa kamu boleh jatuh cinta. Segara mengutuk dirinya dan perasaannya. Mungkin juga mengutuk lingkungan yang tak menyisakan ruang kompromi.
***
“Pulang sekolah mau ke rental komik engga?” tanya Hansen ketika bel pulang sekolah berbunyi. Mereka duduk di bangku yang sama, melakukan banyak hal bersama-sama selama lima bulan terakhir.
“Rental yang di depan pasar Belayar? Saya pernah ke sana, tapi koleksinya sedikit.”
Sejujurnya, Segara hanya ingin mengajak Hansen ke tempat yang lebih sepi. Berbicara berdua tentang hal-hal yang tak pantas didengar oleh telinga orang lain.
“Mau kencan ke mana dong?” Hansen mengedipkan mata kirinya yang menyipit, sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas ransel berwarna hitam.
“Ke sungai, yuk, tapi yang belakang sekolah saja. Bagus juga kok,” usul Segara. Ia sendiri tak mengerti mengapa sungai seringkali menjadi pilihannya. Barangkali karena terbiasa didendangkan oleh gemericik air, mengantarkan suasana hatinya pada ketenangan didekap semilir angin. Lalu biasanya Lale Rakayu duduk di sampingnya sambil sama-sama menyelupkan kaki ke dalam air yang mengalir. Mereka bercerita tentang apa saja, menertawakan banyak kejadian.
Hansen tak menanggapi ajakan itu, keningnya berkerut berusaha menangkap perubahan raut wajah Segara. Pria yang membuatnya betah sejak pindah ke Lombok, sejak terbang dari bandara Supadio, Pontianak, ia telah melepaskan segala kepahitan masa lalunya. Menjajal hidup yang baru dengan berjuta kemungkinan. Salah satu yang terindah adalah Segara.