Menjalin hubungan dengan Hansen membuat semesta Segara berubah drastis. Ia merasa lebih hidup, lebih banyak bicara, juga tertawa. Ajaibnya lagi, ia mau bertemu dengan bapaknya yang sejak tiga tahun lalu sering menjenguknya, tapi enggan ia temui. Selalu saja ada alasan setiap bapak datang. Kini, ketika usianya merangkak ke angka delapan belas, dan dengan adanya Hansen di sisinya, benci yang bersarang begitu lama mulai samar.
“Sekarang Inaq ndak perlu susah payah bangunin kamu sekolah,” ujar Herlina suatu pagi ketika membuka pintu kamar Segara, lalu mendapati anaknya sedang bercermin sambil menyisir rambut yang terbelah ke kanan.
“Kamu punya pacar, ya?” lanjut Herlina dengan tatapan curiga.
“Ndaklah, Inaq,” jawab Segara memerhatikan wajah ibunya di cermin yang menempel pada lemari pakaian yang lapuk.
“Engga ada orang yang bisa bohong dari ibunya, tuh rapiin dulu tempat tidurmu!” Herlina menunjuk kasur tipis dengan selimut batik yang berantakan. Lalu pergi mendinginkan nasi panas untuk Segara sarapan, bersama sepotong ikan asin di pinggir piring. Begitulah cara Herlina berdamai dengan masa lalu. Ketika Sutarji datang lagi tiga tahun yang lalu, laki-laki itu terperanjat mengetahui Herlina belum menikah lagi. Namun, bagi Herlina, menikah itu seperti kesempatan hidup, kamu hanya bisa menikmatinya sekali.
“Tiang berangkat, Inaq,” ucap Segara yang baru keluar dari kamarnya. Herlina menatap anaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki, “Ini kamu beneran Segara yang malas bangun dan sekolah itu?” tanyanya tak percaya. “Apa, sih, Inaq?” Segara salah tingkah, mengacak-acak rambutnya yang kebanyakan pomade.
“Sarapan dulu, kamu pengen ketemu siapa, sih? Buru-buru gitu,” goda Herlina sambil menyodorkan sepiring nasi di depan Segara yang duduk di atas tikar usang. “Papuq sama bibi Nita sudah ke pasar, nanti siang kalau kamu pulang, ambil kunci rumah di Paman Ahmad. Inaq sekarang ngeburuh ke desa sebelah, jadi ndak bisa pulang istirahat siang.”
“Papuq ikut ke pasar?” tanya Segara sambil menyuap nasi.
“Katanya mau belikan kamu baju, bibi Nita yang jualan. Mungkin Papuq bosan di rumah,” jelas ibunya. Meski begitu, Segara tak tega membayangkan neneknya berjalan dengan tongkat menuju pasar.
Segara berangkat menggunakan sepeda yang bersandar di teras. Ia melaju kencang, melewati beberapa rumah, hingga tiba di jembatan kecil yang menghubungkan dua desa yang terbelah sungai. Ketika antre untuk menyeberangi jembatan bersama beberapa petani, Segara menguping obrolan tentang Raden Wardan, bapak Lale Rakayu.
“Soalnya dia kasar dan selalu marah, sih, istri anaknya saja sampai pusing. Wajar kalau dia darah tinggi,” ujar salah seorang perempuan yang sedang menuntun sepeda dengan dua karung rumput yang diikat di belakang.
“Iya, semalam ribut banget, dia kayaknya banting-banting piring gelas. Terus tiba-tiba istrinya berteriak minta tolong. Untung banyak warga yang nolongin suaminya, langsung dibawa ke Puskesmas, katanya sempat pingsan. Saya langsung lari melihatnya. Kasihan, sejak anak pertamanya menikah dengan orang Surabaya, dia jadi lebih sering marah, terutama pada anak keduanya itu,” tutur perempuan lain yang membawa sabit dan karung kosong di tangannya.
Segara yang mendengar itu langsung berbalik, tak jadi menyeberangi jembatan menuju sekolah. Tekadnya ke puskesmas sudah bulat, ia tak tega membayangkan Lale Rakayu sendirian di masa sulitnya.
Setiba di Puskesmas, Segara melihat Lale Rakayu sedang duduk di deretan kursi tunggu di depan ruangan pasien. Segara mendekat, lalu duduk pada kursi kosong di sebelahnya. Lale Rakayu tak menoleh, kepalanya masih ditelungkupkan ke dalam jaket yang dilipat di pangkuannya.
“Gimana kondisi mamiq[1], Yu?” tanya Segara pelan. Lale Rakayu menegakkan kepala melihat ke arah Segara, matanya sembap dan sedikit merah, “Udah mendingan, doakan saja.” Lale Rakayu menatap lurus ke depan, ke pintu pasien, di mana bapaknya terbaring lemah. Ada perasaan bersalah yang bercokol di benaknya. Dialah yang memicu amarah bapak. Lale Rakayu menolak dikenalkan pada seorang pria yang sama-sama memiliki gelar bangsawan. Ia terlalu lelah di bawah tekanan, Lale Rakayu berontak dan menumpahkan semua bebannya.
Sudah satu jam mereka berdua duduk tanpa bicara. Meski Lale Rakayu ingin berkeluh kesah pada Segara, tapi semuanya terkunci di alam pikirnya. Pria di sampingnya bukan Segara Anak yang ia kenal sejak kecil.