“Aku seorang gay, tapi aku tidak tahu kapan sebaiknya aku melela pada orang terdekat. Ayahku kepala sekolah di SMA Katolik, beliau sangat konservatif. Aku capek kayak gini, punya hubungan sembunyi-sembunyi. Kadang kalau pacarku main ke rumah, orang tuaku sering ngobrolin perempuan yang ingin dikenalkan padaku. Padahal pacarku sedang ikut kami makan malam bersama, situasinya jadi benar-benar horor.”
Seorang pria berseragam PNS tiba-tiba curhat di depan meja Hansen. Saat itu hanya ada Segara, Hansen, dan Sinta yang sedang mengobrol di meja narasumber sambil memakan kue. Mereka bertiga saling tatap, menunggu siapa yang punya respon paling tepat.
“Sudah berapa tahun pacaran, Mas?” tanya Segara sambil meletakkan sepotong kue sus yang baru digigit.
“Lima belas tahun, Mas. Lama banget, kan? Makanya saya mikir mustahil mengikuti kemauan mama saya. Sudah terlalu jauh, saya sudah tidak bisa kembali. Usia saya sudah tiga puluh delapan.” Pria itu menarik sebuah kursi, lalu duduk melipat tangan di atas meja.
“Kalau kamu merasa menjadi diri sendiri ketika bersama pacarmu, kupikir sudah saatnya kamu harus berhenti di jalur hidupmu yang dilematis ini. Kamu kesepian sekaligus terintimidasi. Kamu lebih baik hidup berdua sama dia, tinggal bersama, saling memberi dukungan. Soalnya hidup ini memang tidak mudah. Setidaknya kamu butuh dia supaya kamu bisa tidur tanpa mimpi buruk.” Hansen memberi pendapat lalu menyeruput macchiato yang ia pesan di kedai belakang.
“Kamu jujur dulu, deh, sama orang tuamu. Kalau kamu diterima, lanjutkan. Kalau tidak, kamu berusaha lagi.” Segara tak setuju dengan jawaban Hansen.
“Sudah pasti saya ditolak.”
“Kalau kamu ditolak, kamu harus hidup atas pilihanmu sendiri. Kamu pergi dari rumahmu, jadi dirimu sendiri, hidup bahagia. Lalu kunjungilah keluargamu sesekali,” timpal Hansen.
“Ribetnya lagi, saya ini juga Pegawai Negeri, umumnya PNS itu harus heteroseksual. Istrinya datang ketika arisan Dharma Wanita, ikut kondangan ke teman kantor, ikut family gathering lengkap dengan anak-anak yang lucu, dan berbagai hal yang memuakkan.”
“Kamu bisa resign kalau kamu mau, tergantung mana yang ingin kamu perjuangkan. Hubungan yang lekat dan bahagia atau ketakutan sepanjang waktu. Berada di dalam cangkang yang menurut semua orang nyaman, tapi kamu menderita.” Hansen mengangkat kedua bahunya, ia tak suka pria itu, tidak punya pendirian dan keberanian.
Segara menggeleng tak setuju. Baginya, menjadi homoseksual tak harus mengisolasi diri dari lingkungan. Namun, ia enggan berpendapat, lagipula ia sendiri punya masalah yang sama dan tak punya solusi. Segara yang terus berbohong pada ibu dan nenek ketika ditanya soal pernikahan. Bahkan, tak sanggup untuk sekedar mengenalkan Hansen pada mereka.
Segara termenung, bayangan Anjani tiba-tiba saja berkelebat. Entah kenapa gadis itu seringkali muncul dalam pikirannya, seperti menawarkan sebuah jalan keluar.
Pria itu pamit ketika sebuah mobil berwarna putih tiba di depan RPS. Segara pun ikut bangkit dari kursi hendak kembali ke ruang kerjanya. Ketika ia berjalan melewati pintu depan, langkahnya terhenti, seorang lelaki berambut cepak yang membuka kaca mobil menyita perhatiannya. Ia mengenal pria klimis yang tersenyum lebar itu.
“Itu pacarmu?” tanya Segara. Pria itu berbalik, lalu mengangguk. Segara mundur beberapa langkah, lalu mendapati Hansen yang sedang mengamatinya.
“Kamu naksir pria tadi?” tanya Hansen dengan tangan bersedekap.
“Bukan tipeku.”
“Apaan, sih? Aku serius! Ngapain masih ngobrol tadi.”
“Ya ampun, Yang, katanya kamu mau belajar engga cemburuan.”
“Terus kamu ngapain nyusul mas itu? Anggap saja aku cuma penasaran.”
“Kita ke ruanganku aja deh, yuk! Ribet.” Segara menggamit lengan Hansen, lalu menutup pintu ruang kerjanya begitu mereka masuk. “Kamu percaya engga sih, Yang, kalau Afrizal bunuh diri?”
“Engga tahu, aku bukan detektif! Kamu jangan ngalihin pembicaraan dong, aku serius nanya soal mas yang tadi. Dia cukup ganteng kalau kamu tertarik dari first sight.”