Setelah kepergian Lale Rakayu, tak pernah ada mendung segelap itu dalam hidup Segara. Barulah ia sadar bahwa ternyata ia rela melakukan apa pun untuk Lale Rakayu, termasuk melepas Hansen. Kenangan mereka di setiap sudut desa selalu berhasil membuatnya lebih memilih mengurung diri di kamarnya yang diterangi lampu redup. Rasa sesak setiap memasuki ruang kelas dan mendapati bangku Lale Rakayu yang kosong seolah mengutuknya menjadi arca. Bahkan Hansen yang duduk di sebelahnya seperti tak kasat mata. Segara hanya berbicara ketika diminta guru.
Semua itu membuat hubungannya dengan Hansen bagai gua gelap yang dingin. Tak ada lagi pembicaraan tentang perasaan masing-masing. Mereka pun tak pernah membuat janji bertemu di luar jam sekolah lagi. Meski Hansen beberapa kali berusaha memperbaiki semuanya, tapi Segara selalu menghindar. Kelulusan SMA memisahkannya lebih jauh lagi dengan Hansen. Segara bekerja di sebuah toko buku di kota Mataram. Sedangkan Hansen melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Sejak saat itu komunikasi mereka terputus.
Di tahun pertama Segara bekerja, ia selalu menyisihkan gaji untuk keluarganya juga sedikit untuk kuliah kelak. Meski terdengar mustahil, Segara tetap ingin kuliah, semahal apa pun itu. Tidak banyak yang bisa ia tabung di tahun pertama. Meski semua usaha penghematan telah ia lakukan. Mulai dari menjadikan mie instan sebagai kawan, hingga merangkap waktu sarapan dan makan siang.
Di toko buku tempatnya bekerja, Segara melahap semua buku yang dibuka segelnya untuk dilihat-lihat pembeli, biasanya dipajang pada deret terdepan. Barangkali karena buku-buku itulah impian untuk kuliah semakin menghantuinya. Malam-malam ketika tak bisa tidur di ruang belakang toko buku, Segara bangkit mengambil kunci toko, membawa senter, lalu memilih buku-buku dan melahapnya hingga pagi.
Ketika memasuki tahun kedua bekerja, Hansen tiba-tiba muncul di toko buku bagai hantu di siang bolong. Penampilannya jauh berbeda, celana jeans biru dengan kemeja rapi, kaca mata bulat, dan tas laptop di punggung, membuat semua bayangan Segara tentang kuliah menjadi sedemikian megah.
Pada pertemuan itulah semua perasaan yang semula pudar kembali menemukan titik terang. Mereka mengobrol hingga larut, memesan kopi dan duduk lesehan di taman depan toko buku.
“Kamu akan menghabisi hidupmu di sini?” tanya Hansen usai menyeruput kopi.
“Aku masih berusaha mencari jalan, kamu sendiri tahu kondisi keluargaku seperti apa.” Segara melipat tangan di dada, merasakan dingin jam sebelas malam merayap menembus celana kain hitamnya.
“Kamu kerja di sini untuk bisa kuliah?”
“Rencananya sih begitu.”
“Bagus, setidaknya kamu tetap punya mimpi.”
“Kuliah itu kayak gimana, sih?”
“Kuliah bikin mata terbuka, kita bakal sadar banyak banget yang kita engga tahu. Dan yang terpenting pengalaman. Bener deh, kalau kata orang kuliah adalah tempat yang paling tepat untuk menemukan jati diri. Soalnya hidup ini terlalu berharga untuk kita jalani dengan menjadi orang lain.”
Mendengar kalimat Hansen, Segara semakin yakin ke mana kakinya harus melangkah. Ia sudah menetapkan hati membuka celengan. Malam itu mereka berpisah dan berjanji bertemu di Jogja. Ya, Segara akan kuliah di sana, bagaimanapun caranya. Termasuk jika harus menemui bapak, meminta hak seorang anak.
***
"Tiang mau kuliah, Pak," hanya itu kalimat yang mampu keluar dari mulut Segara, meski sudah ia atur sedemikian rupa sejak rumah nenek.
"Jok mbe[1]?" tanya laki-laki berambut putih di sampingnya, tanpa menoleh, tatapannya jauh ke hamparan sawah.
"Jog ..., ja.”
"Jogja? Keluarga kita belum ada yang ke Jawa, Tarlin. Kalau mau ke Malaysia atau ke Saudi silakan. Banyak pamanmu di sana, nanti Bapak sampaikan.”
"Nama tiang sudah diganti sejak lama, Bapak sendiri tahu. Lagipula, tiang merantau mau belajar, Pak, bukan jadi TKI.”
"Kata siapa belajar harus kuliah? Bapak jadi TKI ke Saudi juga bisa belajar dan bisa dipanggil Haji sama semua orang kampung." Sutarji menyalakan rokok yang dipilin, lalu menghisapnya.
"Tiang mau jadi sarjana, Pak, bukan jadi sopir truk atau jadi Haji seperti Bapak." Segara berkeringat usai berkata demikian. Tak pernah sekali pun ia bersitegang dengan bapak seperti saat ini. Lagipula, ia hanya bertemu setahun sekali sejak bapak pulang dari Saudi, yaitu setiap lebaran. Jadi sebenarnya pertemuan mereka bisa dihitung jari.
"Sarjana bisa apa?" tanya Sutarji dengan nada yang mulai meninggi.
Segara terdiam, wajahnya merah, ia berusaha mengatur napas. Bertahun-tahun ia tak pernah bertemu dengan bapaknya, menelan stigma yang melekat bahwa ia anak yang terbuang. Lalu hari ini, ia mengumpulkan semua nyali untuk meminta satu hal ajaib bernama kuliah. Hanya sedikit bantuan uang yang ia perlukan untuk menggenapi tabungannya. Setiba di Jogja nanti, ia berencana untuk kerja apa saja. Lagipula, ia sudah mengantongi surat ajaib bernama Surat Keterangan Miskin yang ia pikir bisa mempermudahnya dalam segala urusan.
Hening tercipta di antara mereka, hanya ada suara kambing dari kandang di samping rumah. Sutarji memang menjadi peternak kambing sejak pulang dari Saudi. Meski hasilnya tak seberapa, setidaknya bisa membuat ia bangga. Pak haji yang beternak kambing lebih enak didengar, ketimbang pak haji yang tukang bangunan, atau pak haji yang pengangguran.
"Tiang pulang saja, Bapak."
"Kalau kamu benar-benar ingin kuliah, coba ke rumah Papuq Tuan[2]. Bapak belum ambil bagian sawah di sana."
Segara tak langsung menjawab, hanya tersenyum kecut. Bagaimana mungkin ia mengunjungi kakek yang masih segar-bugar untuk meminta warisan milik bapaknya. Segara tahu, bapak tak mungkin punya nyali untuk memintanya. Bahkan, ia saja membeli tanah dan hidup terpisah dari keluarga besarnya. Papuq Tuan memang kaya, tapi apalah arti anak cucu dari istri kedua yang tak diakui negara. Bahkan Segara tak ingat kapan terakhir kali bertemu dengan Papuq Tuan.
"Tiang pulang sajalah, Pak," ucapnya. Lalu Segara bangkit dari tikar usang di teras rumah, menyeruput kopi yang diseduh Lastri, ibu tirinya.
"Iya, hati-hati," kalimat bapak mengambang di udara.
Hubungan Segara dengan bapak semakin suram. Bapak adalah laki-laki yang selalu dingin, dan Segara terlalu malas untuk memelas. Ia pikir perbedaan sifat seperti itulah yang membuat ibu dan bapaknya bercerai.
"Mau kemana, Segara? Makan dulu.” Lastri buru-buru keluar dari dapur, berikut semerbak bau masakan yang baru saja matang. Perempuan itu memang baik, selalu berkata manis di hadapan Segara. Bahkan waktu kecil, ketika Sutarji di Saudi, Lastri seringkali membelikan pakaian dan mainan setiap Sutarji mengirim uang.
"Sampun, Bibi," jawab Segara sambil menunduk, lalu melangkah menyalaminya.
"Tumben ke sini harus makan dulu, Zena baru pulang sekolah juga itu. Kapan lagi ketemu sama adikmu."
Dari halaman rumah, tampak seorang gadis mengenakan seragam pramuka. Ia mendekat, matanya cokelat muda, bibirnya tipis, hidungnya kecil dengan tulang pipi yang kokoh, alisnya lebat sejajar dan hitam, hanya warna kulit yang membuat orang percaya bahwa Zena dan Segara tidak kembar. Demi melihat wajah itu, Segara putuskan untuk makan siang di rumah mereka.