Bukan Segara jika membiarkan rasa ingin tahunya bersarang. Seminggu sudah ia dibuat gusar oleh bayangan Afrizal. Laki-laki yang selalu dibilang cantik karena bulu matanya yang lentik, bibir yang tipis, serta senyum yang membuat gadis-gadis koreaholic berdecak kagum berteriak oppa! Ya, Segara tak akan lupa bagaimana mereka mengerjai Afrizal di acara Korean Festival, mendandaninya dengan setelan jas berwarna pink dan sepatu pantofel, lalu membuatnya berdiri karena antrean mengular meminta foto.
Segara menutup laptop di meja kerjanya. Semua foto-foto dan video Afrizal membuatnya termenung lama. Baru kali ini ia sangat menyesal mengapa tak menaruh perhatian lebih, mengorek informas,i dan menyelami kepribadian Af. Mereka memang dekat, tapi tidak pernah terlibat pembicaraan serius.
“Salma!” ujar Segara mengacungkan jari telunjuk di hadapan wajahnya, seperti Archimedes berteriak Eureka! Ia menemukannya, teman diskusi yang nyambung diajak bicara soal Afrizal. Detik itu juga ia menelepon nama kontak yang sama. Lalu memakai sweater kaos berwarna abu yang tergeletak di sofa.
“Mau ke mana, sih? Buru-buru banget,” tanya Hansen.
“Ketemu klien sebentar, nanti juga balik,” jawab Segara asal. Meski sebenarnya ia jarang berbohong, tapi Hansen hanya bisa ditaklukkan oleh kebohongan. Ia sedang malas berdebat panjang lebar dan meladeni semua pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal.
Hansen tidak bertanya lagi, ia berbalik memunggungi Segara yang sedikit heran. Sungguh hal yang sangat langka jika Hansen hanya bertanya satu atau dua pertanyaan. Biasanya ia menjelma seperti detektif kalau soal Segara.
Segara pun tak melewatkan kesempatan emas itu. Ia cepat-cepat melaju menuju sebuah tempat makan di perbatasan Jogja dan Magelang. Ia tahu, Salma tak mungkin terlambat. Terlebih di jam istirahat kantor, jam dua belas siang.
***
“Sorry, telat banget. Udah lama?” tanya Segara begitu memasuki pintu yang disambut oleh dua orang doorgirl dengan pakaian adat Jawa.
“Engga, kok, belum satu jam. Bentar lagi kering sih di sini.” Perempuan itu tersenyum kecut memerlihatkan dua lesung pipinya.
“Waduh, sorry sorry.”
Segara melepas sweater, lalu meletakkannya di atas tas selempang pada kursi di sampingnya. Mereka duduk berhadapan pada meja berkapasitas empat orang. Salma memerhatikan gerakan Segara yang buru-buru.
“Kamu kayak orang nahan pipis atau BAB. Buru-buru amat! Ada yang urgent banget?”
“Kita pesan dulu aja, deh, aku yang traktir! Biar Kasat Intelkam macam kamu engga kurus kering,” ucap Segara tertawa lebar tak ada kecanggungan. Mereka sudah berteman sejak awal RPS berdiri. Salma, selain polisi juga mantan tunangan Afrizal yang dijodohkan oleh orang tua mereka. Meski hubungan keduanya kandas. Namun, setidaknya Segara yakin kalau Salma lebih mengenal Af, juga mengenal kasusnya.
Mereka memesan aneka olahan jamur yang membuat lidah tak pernah merasa cukup, meski lambung sudah memberi tanda penuh. Segara mendorong sepiring rendang jamur ke hadapan Salma, lalu perempuan itu hanya mengangkat tangan pasrah.
“Jadi bagaimana?” tanya Salma begitu dua gelas summer breeze sampai di hadapan mereka.
“Udah, minum dulu, nanti keselek,” ujar Segara sambil mengunyah dessert terakhir.
“Udah, ah. Apaan sih? Penasaran tau! Tumbenan banget ngajak ketemu padahal engga pernah nanya kabar. Hampir setahun lho kita engga ketemu, padahal tinggal satu kota.”