Bukan tanpa alasan Hansen membiarkan Segara pergi begitu saja tanpa wawancara. Ia sebenarnya memang sedang mencari waktu sendiri, mengeksekusi rencana besar untuk merayakan satu dekade hari jadi mereka.
Hansen sebenarnya tak punya banyak alternatif untuk perayaan itu, sebab apalagi yang belum dilakukan oleh dua laki-laki yang tinggal bersama sejak sepuluh tahun lalu. Hansen sudah memberikan semua kado yang direkomendasikan artikel dan majalah percintaan, juga telah memasak semua menu yang diresepkan untuk hari-hari spesial.
Satu ide itu terlintas begitu saja. Hansen menelepon seseorang untuk menjemputnya di RPS tanpa sepengetahuan Dana, Sinta, juga Devina. Mulut mereka bertiga tak memiliki kunci, bisa-bisa rencananya bocor ke telinga Segara sebelum waktunya tiba. Awalnya ia merasa ide itu cukup konyol, seperti remaja belasan tahun yang menyiapkan surprise party sembunyi-sembunyi. Tapi harusnya tidak, ia sudah membuat konsep yang matang, dibantu oleh seseorang yang mobilnya baru saja memasuki halaman RPS.
“Cepat amat, kayak sopir taksi online,” ujar Hansen lalu membuka pintu mobil berwarna krem.
“Soalnya jam tanganku materialnya rose gold, campuran emas sama perunggu, bukan karet!” balas laki-laki berkulit hitam manis itu.
“Sorry ya ngerepotin, soalnya cuma kamu temenku yang pengangguran.” Hansen tertawa sambil memasang seat belt. “Tapi duitnya banyak.” Ia melanjutkan.
“Kamu pikir aku pelihara tuyul! Eh, yakin cuma aku doang yang pengangguran, nih? Apa cuma aku yang bikin kamu nyaman?”
“Hm, mulai deh. Hari ini gombalin laki, nanti malam dugem nyari cewek.” Hansen mencibir, ia tahu Lana seorang biseksual.
“Kalau udah sama kamu, engga bakal lagi deh. Janji.”
“Emang aku kelihatan kayak laki yang mau selingkuh gitu? Sorry ya, aku nelpon kamu cuma buat bantuin nyiapin surprise party buat pacarku.” Hansen tertawa, lalu disambut tinju lembut dari pria di sampingnya.
“Buset, engga bilang-bilang. Tau gitu aku lanjut tidur aja tadi.”
“Please, kamu satu-satunya temanku yang bakal punya ide bagus buat konsepnya, sesuatu yang benar-benar segar dan membuat hubungan kami yang sudah sepuluh tahun itu punya wajah baru.”
“Iya deh, lebay banget kayak abege. Bikin orang pengen aja, aku cariin dong,” timpal pria itu sambil mematikan AC, membuka kaca mobil, lalu meraih rokok.
“Kamu mau yang kayak gimana?” tanya Hansen dengan wajah serius.
“Kayak kamu,” jawab pria itu sambil tertawa.
“Lana, Lana, Meski aku kenal kamu baru kemarin, aku tahu tipe orang kayak kamu itu omongannya engga bisa dipegang. Sekarang bilang cinta, besok amnesia.”
“Ya sudah deh, iya iya. Kamu spesies langka yang paling setia. Sekarang mau ke mana, nih?”
“Ke hotel Crystal.”
***
Segara kembali ke kantor RPS pada pukul tiga. Devina masih sibuk dengan komputernya di meja resepsionis. Sinta sedang menerima telepon kantor. Dana tak kelihatan batang hidungnya. Segara melangkah ke meja Devina, meletakkan sekantong minuman kaleng yang ia beli di minimarket.
“Lihat Hansen?”
“Tadi perg tuh. Emang dia engga bilang sama kamu? Marahan ya,” goda Devina sambil membuka satu kaleng minuman yang diberikan Segara.
“Hm, sok tau! Emang kayak hubungan kamu sama Sinta, kayak kucing sama tikus,” tukas Segara lalu melambaikan tangan ke ruang kerjanya, meninggalkan Devina yang bersungut.
Segara kembali membuka komputer. Ada lima folder foto di sana. Satu foto-fotonya dengan Hansen, lalu foto keluarga setiap mudik ke Lombok. Sedangkan tiga folder lain tentang kebersamaan mereka di RPS. Segara membuka folder berjudul “Merbabu 2014”. Itu adalah momen mereka berenam mendaki bersama. Matanya menyipit memerhatikan tiap detail foto yang menampilkan Afrizal di tengah-tengah mereka. Harusnya ada yang ia tangkap dari pertemanan yang sedemikian dekat.
Hampir empat ratus foto telah ia teliti. Lalu satu-satunya benang merah yang bisa ia tarik adalah sikap perhatian Dana pada Afrizal. Bahkan di beberapa foto, Dana seringkali sedang menatap Af sambil tersenyum. Ada juga foto saat Dana menyerahkan segelas kopi, meminjamkan syal, hingga menyeduhkan mie instan. Jika ia lebih teliti lagi, sikap Dana pada Segara dan Hansen tak pernah begitu.
Segara mulai ragu, sebab Dana pernah bilang bahwa ia tak pernah tertarik pada laki-laki maupun perempuan. Dana juga sering membaca jurnal tentang aseksualitas. Bahkan Dana mengoleksi buku Anthony Bogaert berjudul Asexuality; Prevalence and Associated Factors in a National Probablity Sample. Dana juga bercita-cita melanjutkan studi ke Universitas Brock, di mana Bogaert menjadi guru besar di sana. Semua itu seolah bertentangan dengan perhatian Dana pada Af.
Segara memijit kening, ia mulai merasa pening setelah hampir dua jam di depan komputer. Pukul lima sore, ia harus pulang, Hansen bisa ngambek dan bertanya aneh jika ia tak menemukan Segara di rumah. Ia berkemas, melambaikan tangan pada Devina dan Sinta yang juga bersiap untuk pulang.
Setiba di rumah, tak ia temukan Hansen. Hanya ada secarik kertas yang ditempel pada pintu kulkas.
Sampai ketemu di hotel Crystal ya, Yang. Jam sembilan. On time!
Lalu Segara membaca petunjuk dress code di bawahnya. Kemeja putih dan celana jeans biru. Ia melangkah melewati ruang tengah, juga ruang baca yang memisahkan kamar tidur dengan kamar tamu. Segara membuka lemari, terperanjat menatap baju putih yang sudah disetrika rapi dengan wangi blossom, neroli, dan kesegaran alam, yang menyergapnya pada rindu akan suasana pedesaan di pagi hari. Lalu aroma penutupnya ialah patchouli dan cedar yang membuat ia betah di depan lemari pakaian. Segara selalu kagum bagaimana Hansen menyiapkan hal-hal detail seperti itu.
***
Pukul sembilan malam, Segara telah tiba di jalanan menanjak di perbukitan, beberapa tukang parkir membunyikan peluit, menawarkan hotel-hotel kecil yang bisa digunakan oleh backpacker dengan harga miring. Namun, jika mau bersabar memacu kendaraan hingga puncak bukit, maka tibalah di halaman hotel Crystal yang menawarkan semua kemewahan alam.