Tragedi di hotel Crystal menjadi titik balik bagi Segara. Ia sadar betapa selama ini ia sangat apatis pada hubungan mereka. Segara memang cenderung pasif, berbeda dengan Hansen yang berusaha memertahankan kehangatan, seperti menjaga cahaya dian supaya Segara tetap betah. Hansen jugalah yang lebih sering bangun pagi, menyiapkan keperluan Segara seperti seorang istri. Lalu sangat antusias pada perayaan-perayaan kecil, meskipun Segara kadang lupa.
Pagi itu, mereka kembali ke rumah, mandi dan berganti pakaian tanpa bicara. Hansen keluar lebih dulu ke teras, menunggu Segara mengunci pintu. Segara meraih helm milik Hansen di kursi depan, berjalan untuk memakaikannya seperti biasa.
“Aku bisa pakai sendiri, kok,” ucap Hansen mencegah tangan Segara.
“Oke, maaf.” Segara salah tingkah, sebab Hansen tak pernah menolaknya ketika ingin berbaikan.
Sepanjang perjalanan menuju kantor RPS, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Bahkan supir ojek dan penumpangnya pun berbicara meski basa-basi. Mereka berdua seperti sengaja bersekat untuk menyelami kesalahan masing-masing, terutama Segara. Ia sadar betul, kesalahannya memang fatal. Tapi, mengingat konsep pesta semalam, kembali membuatnya mual.
Meski berjalan beriringan memasuki kantor, tetap saja tak ada percakapan. Segara langsung berjalan ke ruangannya. Sedangkan Hansen berhenti di meja Devina, “Sorry ya, Dev, semalam itu harusnya ngajak anak-anak RPS juga. Seriusan, tapi takutnya kamu sama Sinta enggak nyaman, soalnya cowok semua.”
“Males banget sebenarnya, aku, Sinta, sama Dana udah mau ngambek sama kalian berdua. Bisa-bisanya ngerayain anniversary di hotel dan kami enggak diajak. Apaan!” Devina merengut, ia memakai kacamata, lalu membuka buku di atas mejanya.
“Semalam aja kacau banget, Dev, sumpah! Aku nyesel ikut saran Lana. Katanya udah saatnya aku sama Segara menjajaki tahap baru dalam hubungan kami. Menjadi pelopor hubungan gay yang konstruktif, yang positif, orang butuh tahu dan bla bla bla. Terus Segara juga malah marah-marah, padahal aku udah capek ngurus semuanya dari siang. Kacau pokoknya, untung kalian engga datang.”
“Gimana mau datang, diundang aja kagak!” cibir Devina, “Eh lagian ngapain kamu cepat banget dipengaruhi Lana? Bukannya selama ini kamu masa bodo banget sama komentar atau saran orang, apalagi soal hubungan kalian.”
“Iya juga ya, aku benar-benar nge-blank pokoknya hari itu. Eh, tapi menurutmu, emangnya aku salah?”
“Ya iyalah, Sen. Kamu tahu sendiri pacarmu kayak gimana. Doi lebih suka bertapa, merayakan sesuatu di tempat-tempat sepi. Pokoknya, segala hal yang weird bangetlah.”
“Terus menurutmu, respon dia yang childish banget, tiba-tiba ngilang dan engga menghargai aku sedikit pun, gimana?”
“Hm, berlebihan juga sih! Kan dia bisa stay aja di lokasi sampai selesai, wong itu acara kalian berdua, kok,” ujar Devina, “eh tapi aku bukan provokator, lho. Saranku sih, mending kalian ngerayain ulang, traktir kami dinner di mana gitu.” Devina mengangguk-ngangguk, meyakini ide briliannya.
“Nanti deh kupikir lagi, masih malas ngomong sama dia.”
Dari arah belakang, Sinta dan Dana lewat menuju kedai kopi tanpa menegurnya. Kening Hansen berkerut, lalu menggeleng tak percaya, “Mereka marah beneran?”
“Ya iyalah marah. Harusnya, aku juga sama. Kalian anggap kami apa? Ngadain acara sepenting itu malah engga diundang.”
“Ya ampun! Kalian itu engga bakal cocok sama konsep acaranya. Segara aja kabur!” ujar Hansen, lalu memijit kening putihnya yang berkeringat.
“Emang kalian ngapain, sih? Sampai segitu banget.”
“Pokoknya kamu bayangin aja, ada banyak laki-laki telanjang dada, minum alkohol, dan gitu deh pokoknya,” jawab Hansen sedikit menutupi. Ia tahu, Devina juga tak kalah konservatif dibanding Segara.
“Pantas aja datang-datang raut wajah kalian berdua kayak dua kutub magnet yang berdekatan, tapi saling tolak menolak. Jaraknya kayak Sabang sama Merauke. Lagian heran deh, udah tahu pacarmu kayak pemuka agama, kamu kayak DJ club malam, masih aja nyoba disatuin. Prinsip hidup masing-masing, sama prinsip dalam menjalani hubungan itu beda, brother. Hal yang harus sama cuma satu, prinsip kalian dalam menjalani hubungan, bukan cara hidup Segara, bukan cara hidup kamu.”