Gerimis tipis menyambut kedatangan Segara begitu pintu pesawat dibuka. Saat itu bandara di Lombok hanya hamparan lahan luas yang belum sepenuhnya digarap. Kakinya memijak pada anak tangga yang sedikit basah. Sudah delapan bulan ia tak pulang sejak lebaran tahun lalu. Biasanya setiap enam bulan sekali Segara selalu menyempatkan waktu. Namun, akhir-akhir ini ia seringkali merasa bersalah, terutama ketika ibu dan nenek semakin sering menanyakan calon istri.
Segara melangkah menuju pintu keluar, melewati tempat pengambilan bagasi dan petugas yang sedang mengecek barang. Ia tak membawa banyak barang, kecuali ransel hitam dengan list abu di setiap sisi. Rambutnya yang tergerai sedikit basah karena air hujan. Lalu jaket jeans dan celana cargo, membuatnya lebih mirip pergi mendaki ketimbang menghadiri acara kematian.
Sutarji menunggu di depan pintu kedatangan. Ketika melihat Segara muncul dari balik tembok, ia merangsek melewati kerumunan. Lalu menepuk bahu anaknya yang masih celingak-celinguk.
“Ayo,” ucapnya datar.
“Nggih,” Segara mengangguk singkat.
Mereka berjalan beriringan, Sutarji memimpin di depan. Gerimis tipis masih terus turun. Segara memakai helm tua berwarna abu, helm milik Lastri, yang langsung diambil Sutarji begitu Segara mengabari sudah naik pesawat. Meski mereka berdua tak dekat, tapi kehilangan seseorang membuat mereka tak bersekat.
Sutarji memacu kendaraannya dengan cepat, sorban putih yang ia kenakan melambai tertiup angin. Tampilan Sutarji tak jauh berbeda dengan papuq tuan, juga semua pria yang bergelar Haji di pulau Lombok. Menunaikan ibadah haji adalah penyematan gelar baru yang diselipkan melalui simbol-simbol keagamaan, seperti peci putih dan sorban. Persis seperti tampilan Sutarji malam itu.
Sepanjang jalan, tak ada percakapan. Sutarji fokus menatap jalan yang remang-remang melalui kaca helm yang basah. Sedangkan Segara tenggelam pada setiap inci pulau itu. Terutama ketika motor tua Sutarji memasuki desa Sentana. Segara tiba-tiba merasa berpindah ke masa lalu oleh alunan murotal dari masjid, lalu rombongan anak yang pulang mengaji selepas isya dengan sarung yang diikat membentuk ninja.
Motor itu berhenti persis di depan deretan kandang sapi milik papuq tuan. Beberapa orang sedang menyiapkan tenda dari terpal, juga bambu yang sedang dipotong sama panjang. Sutarji melewati kerumunan, seorang laki-laki tampak menepuk bahunya, menguatkan. Segara menunduk, hingga langkah kakinya tiba di teras yang ramai oleh tangis.
Dengan mengikuti langkah Sutarji, Segara bersimpuh di samping jasad yang terbujur. Istri papuq tuan masih terisak di sebelahnya. Sutarji menyentuh bagian wajah yang ditutupi kain batik berlapis-lapis. Ia membukanya, membiarkan kenangan menggerogoti pendiriannya. Setetes air mata jatuh di pipi, juga mata Segara yang tiba-tiba terasa panas. Meski tak dekat dengan papuq tuan, tapi kehangatan perangainya masih tergambar jelas dari wajahnya yang pucat.
Dari pintu teras, seorang perempuan lima puluh tahun melangkah masuk, badannya yang besar dan tinggi ditutupi oleh untaian selendang hitam. Ia tak tahu, kejujuran akan seberat ini setelah bersembunyi puluhan tahun.
Istri papuq tuan bangkit dari tempat duduk. Dengan air mata berurai, tubuhnya yang telah ringkih berusaha memeluk perempuan yang baru saja datang. “Maaf nggih, baiq solah[1], maafkan bapakmu,” ujarnya di sela-sela isak.
Semua orang terperanjat, “Siapa, Inaq?” tanya Amaq Wildan, anak pertama.
“Semeton[2]-mu, Tatiq, anak bapakmu dari istri ketiganya yang sudah meninggal. Bapak tak mau kalian semua tahu. Biar tidak ada beban dan saling memusuhi di antara kalian.” Perempuan tua itu mengusap air mata, lalu menatap perempuan yang baru saja datang, “lihat bapakmu, Marni. Dia baru pulang sholat ashar, lalu tiba-tiba jatuh di depan rumah. Dia pasti orang yang sangat baik, ajalnya mudah.”
“Nggih Inaq. Bapak orang yang baik,” ujar Marni ragu-ragu memanggil perempuan yang pernah ia temui dua kali itu dengan sebutan ibu.
Marni duduk bersimpuh di samping jasad bapaknya, di seberang Segara dan Sutarji. Dari arah pintu, sesosok perempuan muda masuk dengan tatapan sayu. Ia terus menunduk, lalu duduk bersimpuh di samping Marni, tanpa sepatah kata pun.
Segara tersentak, bagaimana bisa Anjani yang selalu tak terjangkau kini berada di hadapannya. Membuat seluruh emosi Segara tiba-tiba berubah. Anjani membuang napas berat, lalu memejamkan mata sejenak. Meski hanya bertemu setahun sekali, jasad yang terbujur kaku itu adalah awal kehidupannya.
“Maafkan tiang, Bapak.” Marni berbisik perlahan, lalu setetes air mata jatuh, menetes di ujung dagu, lantas membasahi kain batik penutup jenazah.
Seluruh anak Tuan Idham butuh penjelasan, terutama Amaq Wildan, sebagai anak pertama ia merasa dibodohi. Amaq Wildan menepuk pundak ibunya yang ringkih, “Jelaskan sama tiang, Inaq. Bagaimana bisa kalian menutupi fakta sebesar ini.”
Perempuan tua dengan selendang putih itu bangkit, lalu berdiri, perlahan menatap seluruh anak dan cucunya yang berkumpul. “Bapakmu menikah waktu kalian semua masih kecil. Pernikahannya yang ketiga, setelah dengan ibunya Sutarji. Tapi, yang ini bapak tak memberi tahu siapa pun. Inaq bahkan tahu dari sahabat bapakmu, Tuan Idris. Itu pun setelah istrinya meninggal saat melahirkan Marni. Bapak ingin ini menjadi rahasia karena sudah cukup kalian menanggung sakit hati. Jadi ya ini saudara kalian, Marni. Ini anaknya, Anjani.”
Seluruh penjelasan itu membuat suasana menjadi hening, hanya Anjani yang terusik. Perlahan merangkul ibunya, lalu berkata, “Sudah cukup, Inaq. Kita pulang sekarang.” Ia tahu, kehadiran mereka tak pernah diinginkan.
Marni mengikuti keinginan anak semata wayangnya. Tanpa bicara lagi, ia mengusap lembut wajah bapaknya. Meski hanya bertemu setahun sekali, Marni selalu menunggu kedatangan pria itu. Sebab hanya bapak yang bisa mengunjungi, bukan sebaliknya. Jika kematian tak memanggil, mungkin Marni tak akan pernah menginjakkan kaki di rumah itu.
“Assalamualaikum,” ujar seorang pria dari arah pintu yang setengah terbuka, dengan peci putih dan sorban hijau. “Saya mau izin berbicara sebentar. Di sini saya mau menunaikan amahan yang diberikan Tuan Idham. Beliau menyampaikan beberapa pesan yang harus didengar oleh seluruh anak cucunya. Besok, setelah pemakaman, kalian berkumpul di teras rumah, semuanya tanpa terkecuali.”
“Nggih.” Beberapa orang menjawab serempak. Tak ada yang membantah kalimat Tuan Idris, sahabat papuq tuan, sekaligus tokoh agama setempat. Usai mengucapkan kalimat itu, Tuan Idris berbalik. Sudah sejak Ashar ia menunggu di sana. Menanti kedatangan seluruh keluarga sahabatnya.
***
Segara tiba di halaman rumahnya hampir tengah malam. Menggunakan motor milik Sutarji, sebab bapaknya menginap di samping jenazah. Dari dalam rumah, terdengar langkah kaki mendekat, lalu pintu terbuka. Segara menyalami ibunya yang menggunakan daster bermotif bunga, lalu neneknya yang tak bisa lagi berjalan, hanya duduk di kursi kayu yang diberi alas bantal. Sedangkan Bibi Nita sudah menikah, tinggal bersama suaminya.
“Tiang ndak bawa apa-apa, Papuq.” Segara bersimpuh di pangkuan neneknya.
“Papuq-mu ini sudah tidak butuh apa-apa, cuma butuh cucunya,” jawab perempuan keriput yang menutup rambut putihnya dengan ciput rajut. Biasanya Segara selalu menyempatkan membeli oleh-oleh ketika pulang, termasuk ciput yang dipakai neneknya, daster yang dipakai ibunya. Jika tidak, mungkin kedua perempuan itu tak akan pernah belanja keperluan sendiri, bahkan dari upah buruhnya, Herlina justru menabung untuk keperluan pernikahan Segara kelak.
“Ayo makan dulu,” ucap Herlina yang muncul dari belakang.
Pada tikar usang yang digelar di atas lantai semen, berjejer piring-piring berisi lauk kesukaan Segara. Ikan kuah kuning, pelecing kangkung, urap, juga sambal beberoq. Aroma masakan hangat itu mengepul, menempel pada tembok yang terkelupas. Segara menoleh, menatap ibunya yang sedang menyendokkan nasi ke piringnya, lalu sesekali menyeka keringat di dahi. Entah kenapa mata Segara tiba-tiba terasa panas. Ia menenggelamkan wajahnya pada pangkuan nenek. Perasaan bersalah itu kembali hadir, menggigit keberaniannya mencintai, juga hubungan terlarang yang tak mungkin diketahui oleh keluarganya.
“Ayo cepat, mumpung masih hangat,” ulang Herlina.
Segara bangkit mengambilkan piring untuk nenek yang pasti belum makan. Semua menunggu kedatangannya. Ibu sengaja memasak terlambat supaya tetap hangat. Mereka bertiga makan tanpa bersuara, hanya Herlina yang sibuk memindahkan lauk pauk ke piring anaknya. Lagi-lagi, Segara menggosok matanya yang berair. Ibu memang tak pernah mengucapkan cinta, mengatakan sayang, atau menyuruhnya pulang. Namun, ia tahu, tanpa sepatah kata pun, betapa ibu rela melakukan segalanya untuknya.
Rasa bersalah yang sama kembali menyerang.
***
Motor tua itu tiba di pekuburan tengah sawah, Herlina turun dari boncengan Segara. Mereka berdua menggunakan pakaian serba hitam, kecuali sarung kotak-kotak yang dikenakan Segara, peci hitam bertengger menutupi rambut gondrong yang menjuntai di bawah telinga. Suara ceramah Tuan Idris mengantarkan jenazah papuq tuan ke tempat istirahat terakhir.
Riuh tangis kembali terdengar begitu jasad ditimbun tanah sedikit demi sedikit. Segara menghela napas, menggambil sejumput tanah lalu melemparkannya pada lubang yang hampir penuh. Satu persatu, semua orang yang hadir mengambil tanah dan melemparnya ke liang. Lalu batu nisan ditancapkan oleh Amaq Wildan, berikut nama yang dipahat beserta tanggal kematian.
Usai sudah perjalanan Tuan Idham. Kini anak cucunya kembali ke rumah, beserta Tuan Idris. Mereka duduk pada karpet hijau yang memenuhi seluruh teras, ruang tamu, dan ruang tengah, persiapan untuk tahlilan nanti malam. Tuan Idris duduk diapit oleh Sutarji dan Amaq Wildan. Segara duduk di seberangnya, bersebelahan dengan Herlina dan Inaq Manah.
“Kita menunggu Marni dan Anjani, tadi saya sudah menyuruh orang untuk menjemput mereka.” Tuan Idris berdehem, ia meraih sesuatu dari dalam saku kemeja lengan panjangnya.
“Ini wasiat Tuan Idham, penting untuk diketahui dan diterima oleh semuanya,” lanjutnya tanpa ada yang berani memotong. Siapa yang tak tahu Tuan Idris, seorang pegawai KUA yang sering memberi ceramah di berbagai tempat. Dia mengasuh dan mendidik beberapa anak yatim di pondoknya. Menjadi tokoh agama yang dipuji-puji perangainya.