Tak ada alasan lain bagi Segara mengapa memilih rute penerbangan Lombok-Bali-Jogja, selain untuk membeli kue pie Bali favorit Hansen. Meskipun keberangkatan lanjutan menuju Jogja membuatnya harus menunggu delapan jam di pulau Dewata.
Jika ada manusia yang menyukai kue pie Bali melebihi Hansen, maka Segara akan mencarinya hingga ke ujung dunia. Satu kotak saja bisa raib dalam sekali duduk. Bahkan, tak jarang Hansen memesan online untuk dikirim ke Jogja. Namun, selalu mengeluh karena rasanya berbeda dengan toko kue kecil di sudut Denpasar yang menjadi toko favoritnya.
Akhirnya, Segara menaiki taksi online dari Ngurah Rai menuju sebuah toko oleh-oleh khas Bali. Ia memasukkan sepuluh kotak kue pie dalam keranjang. Ekor matanya tiba-tiba menangkap sudut toko yang didominasi warna merah. Di sana terpajang aneka gelang yang terbuat dari karang dan mutiara. Segara meraih salah satu yang berukuran paling kecil dan tidak terlalu mencolok, lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Setelah membayar, barulah ia sadar, tak ada alasan yang tepat mengapa ia membeli gelang itu. Selain wajah Anjani yang berkelebat mengganggu ruang pikirnya.
Pukul lima sore, Segara bergegas menuju bandara. Namun, begitu tiba di ruang tunggu, penerbangannya ditunda hingga jam sepuluh malam. Ia mencari tempat duduk di ruang tunggu yang padat dengan menenteng dua kardus kue di tangan kanan dan kirinya, ransel hitamnya pun penuh oleh makanan yang dijejalkan oleh ibunya. Entah kenapa, ibu selalu beranggapan kalau di Jogja Segara tak bisa mendapatkan makanan semacam itu. Meski demikian, Segara tak juga membantah. Satu-satunya yang ia syukuri, ibu tak memaksanya membawa terasi Lombok atau kangkung.
Pesawat yang ia tumpangi mendarat di bandara Adi Sucipto hampir tengah malam, berulangkali permohonan maaf terdengar dari bibir pramugari yang menor. Segara melangkah menuju pintu keluar, memesan taksi online menuju rumahnya. Dari jendela mobil, Segara mengamati jalanan Jogja yang lengang, hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang, juga satu dua tukang becak yang meringkuk di kursi penumpang.
Butuh waktu lima belas menit dari bandara hingga mobil itu berhenti di depan sebuah rumah berwarna putih kombinasi abu. Segara mendorong pintu gerbang kayu setinggi pinggang, dari luar terlihat semua lampu telah dipadamkan. Segara merogoh kunci rumah di saku jaket, ia berencana tidur di sofa malam itu demi tak membangungkan Hansen.
Segara membuka sepatu di teras, memutar kunci rumah dan menyaksikan penjuru ruangan yang gelap. Ia meletakkan tas di atas sofa, berikut jaketnya. Lalu bersandar dengan kepala menengadah ke langit-langit ruang tamu, memijit keningnya yang terasa pening dan sedikit mengantuk. Ia menahan diri agar tetap terjaga, berusaha beranjak ke kamar mandi tamu di samping kamar tidur, setidaknya ia ingin gosok gigi dan cuci muka.
Langkah Segara terhenti di depan kamar mandi, ia melirik pintu kamar tidur yang terbuka lebar, rupanya Hansen tak menyalakan AC hingga membiarkan pintunya terbuka. Malam itu memang cukup dingin dibandingkan biasanya. Segara pun memutuskan untuk mengambil pakaian hangat di lemari samping ranjang. Tak ingin membangunkan Hansen, ia mencari senter di ponselnya lalu melangkah hingga sisi tempat tidur.
Bersama cahaya ponsel yang remang, Segara memasuki kamar. Ia melangkah dengan pelan, lalu tiba-tiba berhenti dan mematung. Napasnya tercekat, lututnya terasa lemas. Dengan tangan bergetar ia mencari stop kontak yang menempel pada tembok di samping pintu. Lalu terang-benderang lah semuanya. Wajah putih Hansen yang tidur pulas menempel di bahu Lana, tangannya melingkari dada Lana yang dipenuhi tato. Selimut abu menutupi tubuh mereka hingga perut. Meski kaget bukan kepalang, Segara kembali mematikan lampu. Membiarkan dua sejoli yang kelelahan menikmati tidurnya.
Kini Segara duduk di hamparan karpet bulu berwarna putih yang tergerai di bawah sofa. Ia menelungkupkan wajahnya pada bantal, mencengkeramnya sekuat tenaga, lalu melayangkan tangannya yang terkepal pada lantai. Segara benci kenyataan di hadapannya. Bukan karena Hansen akhirnya tidur bersama pria lain, tetapi Segara tak suka dibohongi. Kebohongan selalu berhasil mendatangkan emosi yang tak pernah ia kenal.
Rasa kantuk yang semula menyergapnya menguap bersama amarah yang bersarang, membuat kepalanya pening. Ia memutuskan untuk menunggu pagi, meskipun malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidupnya. Suara jam weker dari kamar membuat Segara mengangkat kepalanya yang masih telungkup pada bantal yang basah, jam enam pagi. Segara menatap cahaya matahari lembut menerobos gorden berwarna pastel. Ia bangkit, menengok ke dalam kamar, menemukan Lana sedang duduk di samping Hansen yang mengucek mata.
“Hei,” ucap Lana tergagap. Ia cepat-cepat menarik selimut, menutupi bagian bawah tubuhnya.
“Aku mau ngomong di depan, bisa?” tanya Segara, lalu berbalik, memberi kesempatan Lana untuk berpakaian.
Segara menarik tali gorden, memerlihatkan taman di samping rumah, menyapanya dengan aneka bunga yang mekar. Mereka berdua duduk di sofa bermotif papan catur, menghadap jendela besar yang mengirim cahaya matahari. Segara bergeser, meletakkan satu bantal di tengah-tengah menjadi pemisah.
“Kalian mulai sejak kapan?” tanya Segara dengan wajah datar.