Tak ada yang memaksa Hansen untuk pergi selain perasaan asing dan terisolasi. Dua hal yang menemaninya tumbuh besar. Lalu Segara memberinya sensasi emosional yang sama, membohonginya tentang Anjani, seolah ia tak tahu apa-apa. Lantas meninggalkannya begitu saja di tengah pesta, menjadikannya seolah pesakitan yang tak berharga.
Memang tak mudah untuk meninggalkan Segara, tetapi tak ada asa yang tersisa. Terlebih ketika Lana hadir dan bersedia menjadi sandarannya. Lagi pula, sesuatu yang selama ini terasa jauh di luar jangkauannya. Namun, terasa dekat ketika Lana berada di sisinya.
Meninggalkan bayangan Segara ketika bangun tidur adalah bagian yang paling sulit bagi Hansen. Meski berjarak ribuan kilometer. Meski berada di pulau yang berbeda. Meski tidur dalam dekorasi kamar yang tak punya kesamaan. Entah kenapa, setiap terbangun, Hansen selalu menoleh ke arah kanan, mencari wajah Segara yang biasanya terlelap. Lalu ia bergelung di dadanya.
“Kamu masih ingat dia terus?” tanya Lana suatu malam ketika mereka hendak tidur.
“Engga. Buat apa,” jawab Hansen ketus. Lalu ia menarik selimut menutupi wajah, mengenyahkan pikiran tentang Segara, berusaha mendatangkan kenangan buruk ketika bersamanya. Bagaimana Segara membuatnya terasing, membuatnya merasa tak berarti. Lalu Lana yang menyediakan bahu tanpa pamrih. Menggandengnya menuju sebuah masa depan yang pernah menjadi impiannya sejak kecil.
“Makasih ya, Sayang.” Hansen membuka selimut, lalu memeluk Lana dari belakang.
“Buat apa?”
“To let me be myself.”
Mengeksplorasi dunia bisnis bersama, itulah tujuan mereka berdua. Seperti percobaan-perobaan Hansen ketika mahasiswa dulu. Mulai dari jualan buku, hingga kafe-kafe kecil yang semuanya gulung tikar. Lagi pula, Segara tak pernah menaruh minat pada wirausaha. Ia lebih suka menerima proyek dari instansi tertentu. Walhasil, Hansen tak pernah totalitas.
Lana tipe pria yang easy going, sebenarnya hampir mirip dengan Segara. Bedanya, meski cuek pada sekitar, Lana selalu menyempatkan melakukan hal-hal kecil untuk menunjukkan perhatiannya. Itulah yang membuat Hansen bertekuk lutut. Meski ia seringkali menertawakan cara Lana yang romantis, beli bunga di lampu merah, atau berpantun garing yang membuat Hansen terpingkal-pingkal.
Kini mereka berdua menetap di kota Pontianak, di sebuah rumah yang dibelikan orang tua Lana. Di bagian depan rumah itu akan dijadikan kafe, lalu kantor bisnis lain di belakang. Hal itu juga yang membuat Hansen betah bersama Lana, ia tak perlu sembunyi-sembunyi di depan siapa pun. Meski bapaknya Lana yang notabene seorang polisi dan pejabat struktural, tetapi Lana tetap memiliki hak suara yang besar.
***
Genap seminggu Segara tak keluar rumah. Ia hanya duduk di sofa, makan, baca buku, nonton film, dan tidur, bahkan kadang ketiduran di lantai. Gorden rumahnya tak pernah dibuka. Hingga sore itu, dengan menggunakan celana pendek dan singlet pantai, Segara keluar membawa gembor berwarna hijau, berjalan ke samping rumah, lalu menyirami tanaman yang tak terurus. Kulit tangannya yang kering, kuku-kukunya yang mulai panjang, menariki daun-daun busuk yang menguning, lalu menjatuhkannya begitu saja.