Sejak kembali ke Jogja, Anjani merasa ada yang berbeda. Bukan karena kalimat ibu yang beranggapan bahwa wajahnya sangat mirip dengan Segara, dan jodoh biasanya memiliki garis wajah yang hampir sama. Bukan karena itu. Ia sendiri jarang percaya dan menuruti kata-kata ibunya. Jadi, jelas bukan kalimat itu yang terus mengganggunya.
Barangkali karena ia telah terlalu lama sendiri, sejak dulu dikirimi undangan pernikahan oleh laki-laki yang ia pacari selama lima tahun, Anjani tak pernah menerima ajakan makan malam oleh pria mana pun. Meski kejadian itu berlalu hampir dua tahun, ia tetap saja belum memulai hubungan yang baru. Barangkali ia terlalu malas memulai sesuatu dari awal.
Hingga pada pertemuan terakhirnya dengan Segara, entah kenapa ia merasa terusik. Anjani yakin, itu bukan ketertarikan, bukan perasaan suka yang muncul karena terlalu lama mendiami perasaan sepi. Lagipula, ia terbiasa hidup sendiri sejak kecil. Bukan masalah yang besar ketika harus menjalani hari-harinya sendiri. Meski beberapa temannya mulai memiliki kehidupan masing-masing, pernikahan, lalu menjadi orangtua.
“Kamu mikirin apaan sih, An? Mata ngadep komputer, tapi pikiran melayang-layang,” ujar Laras, perempuan berkacamata yang datang menghampiri meja kerja Anjani.
“Ah, engga, kok. Aku lagi baca ulang verbatim yang kuketik.”
“Bukannya udah kamu serahin ke Prof Malik?” tanya Laras, sambil meraih permen karet dari toples di meja Anjani. Melirik komputer temannya itu yang hanya menampilkan desktop berlatar air terjun, dengan kursor yang berkedip-kedip. “Hm, katanya baca verbatim!”
“Udah kelar,” timpal Anjani, lalu bangkit dari kursinya. Ia meraih satu cangkir berwarna krem lantas berjalan ke dapur, menyeduh kopi susu, dan membawa beberapa pisang rebus kembali ke meja kerjanya
Sudah setahun ia menjadi staf di KPKI (Komunitas Peduli Keluarga Indonesia). Ironisnya, meski berada pada divisi yang mengurusi penelitian tentang ketahanan keluarga, hingga pola pengasuhan, ia sendiri belum punya pengalaman soal berkeluarga. Karena itu juga lah, ia sering menolak ketika ada undangan menjadi pembicara di kampus-kampus. Ia sangsi, sebab menurutnya, pengetahuan tanpa pengalaman hanya omong kosong.
“Dicari Prof Malik tadi,” ujar Laras begitu Anjani tiba di ruangan.
“Ada apa?”
“Engga tahu, nyari istri keempat kali, biar genap,” timpal Laras nyengir.
“Perasaan penelitian beliau udah kelar, deh. Masih aja doyan nongkrong di KPKI, emang profesor engga punya kerjaan apa di kampus?”
“Boleh masuk?” suara ketukan pintu membuat Anjani menghentikan kalimatnya.
“Pucuk dicinta, ulam pun tiba.” Laras terkekeh.
“Dek An, saya ada proyek lagi. Nanti kita garap sama-sama, ya.” Seorang pria botak tiba-tiba berbicara tanpa dipersilakan, ia langsung duduk pada kursi di depan meja Anjani.
“Nggih, Pak,” jawab Anjani sambil membungkuk menghormati. Lalu Laras hanya menahan tawa dari meja yang berada di seberangnya.
“Nanti siang kita diskusikan di tempat makan bagaimana, Dek An?”
“Maaf Pak, kebetulan saya sudah ada janji. Setiap hari saya di kantor kok, Pak. Bisa ditemui kapan pun, di jam kerja.” Anjani menyunggingkan senyum termanis.
Oke, nanti siang setelah istirahat saya ke sini lagi. Kamu cari tahu dulu tema tentang terapi reparatif, bisa unduh bukunya Joseph Nicolosi. Kita mau pelajari kemungkinan penelitian eksperimental. Tapi nanti dimodifikasi dari punya Nicolosi. Jadi kamu harus kuasai dulu biar diskusi kita nyambung.”
“Baik, Pak.”
“Kamu jangan lupa makan siang dulu, lho, Dek An. Kamu udah kurusan, kayaknya beratmu cuma lima puluh, tho? Padahal kamu lebih tinggi dari saya. Tapi, malah dadi koyo model yo[1], Dek An.” Pria itu tersenyum, matanya yang sipit hanya membentuk garis lengkung.
“Ah, Bapak bisa aja.”
“Tenan lho[2], Dek An.”
“Iya, Pak, saya percaya kok. Banyak yang bilang begitu soalnya.” Anjani terkekeh. Laras berusaha menahan tawa meski matanya tertuju pada komputer di meja.
“Walah, aku patah hati lho. Lanang kui sing ngomong[3]?”
“Iyalah, Pak. Emang saya jeruk makan jeruk.”
“Wis ndue calon tho[4], Dek An?”
“Alhamdulillah, Pak. Doakan saja nggih, dalam waktu dekat. Oh iya, ini saya jadi unduh jurnalnya dulu, Pak?”
“O iya monggo, monggo. Saya pamit dulu, Dek An.”
Pria itu melangkah pergi, menarik gagang pintu lalu menutupnya lagi. Lantas tersisa suara cekikikan Laras di pojok ruangan.
“Apa di dunia ini cuma ada aku, Tuhan?” keluh Anjani, lalu menenggelamkan wajahnya pada tumpukan kertas di atas meja. Ia tak ambil pusing tentang penelitiannya, tapi laki-laki tua bangka yang tak juga sadar usia itu membuatnya kehilangan selera. Bahkan, Prof Malik pernah terang-terangan menawarkan pernikahan sah, sebagai istri kedua.
“Kapan-kapan, kamu harus mengiyakan ajakan Prof Malik buat makan di luar, lho. Sebelum dia benar-benar melakukan pendekatan ke rumahmu,” timpal Laras lalu tertawa lagi. “Aku jemput anakku dulu, ya,” sambungnya, usai melirik jam di tangan kanan, lalu meraih tas jinjing di atas meja.
“Iya, hati-hati.” Anjani lalu mulai browsing permintaan Prof Malik.
Sebenarnya Anjani belum memikirkan pernikahan secara serius. Terlepas dari siapa laki-laki yang mendekatinya. Hanya saja, untuk menjalani kehidupan yang sedemikian lama dengan seseorang, ia pasti bosan. Meski di hadapan Tuan Idris dan Segara, ia mengaku siap membuka diri. Nyatanya, Anjani tak memiliki banyak teman dekat. Dia selalu membuat pembatas antara privasinya dengan apa yang boleh diketahui orang, termasuk mereka yang menyebutnya sahabat. Anjani lebih sering menjadi tong sampah, mendengar cerita, mengulurkan tangan, bukan sebaliknya. Ia tak suka basa-basi untuk menciptakan sebuah relasi. Ia lebih nyaman berada dalam lingkaran pembatas yang melindungi segala keakuannya.
***
Mendatangi diskusi RPS hanya sebuah rutinitas yang membuat ia lenyap dari dunianya yang lengang. Namun, meski sudah dua kali ia datang, perasaannya tak seperti biasanya. Ia sangsi, apa karena Segara tak pernah muncul. Lalu dengan ragu-ragu, ia menunggu peserta diskusi sepi. Lantas duduk di depan meja Devina.
“Kenapa moderatornya sekarang ganti, Mbak?” tanya Anjani.
“Iya, Hansen yang biasanya udah engga di RPS lagi,” jawab Devina.
“Udah resign?”
“Hm, kita engga seresmi itu sih, Mbak. Lagi pengen off aja kali, terus pergi. Oh iya, Mbak, kamu biasa bawa acara seminar gitu, ya?” tanya Devina. Ia tiba-tiba teringat, baik Sinta dan Dana, belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi moderator.
“Lumayan sering sih, Mbak, emang kenapa?”
“Besok minggu kami ngadain acara seminar nasional gitu, sebenarnya udah ngontak beberapa orang yang bakal jadi moderator. Ndilalah semuanya udah di-booking. Akhir tahun kayaknya banyak instansi ngadain acara, ngabisin dana kali, ya. Kalau Mbak gimana, besok minggu ada kesibukan?”
“Dev,” panggil Segara yang tiba-tiba muncul dari balik tembok. “Mending aku obrolin dulu deh sama dia,” usulnya. Ia tak yakin dengan background Anjani yang notabene berasal dari komunitas yang bertolak belakang dengan mereka. Lalu Devina hanya mengangguk mempersilakan.
Anjani mengikuti langkah Segara menuju ruang kerjanya di bagian tengah, diapit oleh ruang baca dan ruang rapat. Ruang kerja Segara tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk dua hingga lima orang bercengkrama. Segara menutup pintu begitu Anjani duduk pada dua sofa mini berwarna cokelat. Matanya sibuk mengobservasi setiap detail ruangan. Rak buku yang tidak terlalu besar, tetapi mengoleksi ratusan buku dengan berbagai kategori. Mulai dari ensiklopedi hingga resep memasak.
“Kamu segitu tertariknya sama ruanganku?” tanya Segara.