Menawarkan pernikahan pada Anjani seperti sebuah mimpi. Dia bukan laki-laki yang berani membuat keputusan besar, seumur hidupnya dihantui oleh keragu-raguan. Tumbuh tanpa role model yang memberi contoh bagaimana seorang laki-laki bersikap, membuatnya menggunakan insting dan hanya mengingat-ingat isi buku What Man Do, meski selamanya tak bisa menjadi habit. Itulah mengapa, usai menawarkan pernikahan di pagi itu, ia memilih kabur dari skenario yang telah ia susun.
Segara sebenarnya juga takut menyakiti Anjani. Bagaimana bisa ia menikah dengan seseorang hanya untuk menemaninya menutupi abnormalitas, lalu hidup di tengah-tengah masyarakat. Meski percik hangat itu muncul di dadanya ketika bersama Anjani. Namun, persis seperti yang Anjani katakan. Pernikahan terlalu sakral untuk dilakukan hanya karena alasan tunggal. Akhirnya Segara memutuskan kontak dengan Anjani hampir dua bulan.
***
Sejak rencana penyekalan itu juga, RPS kembali berbenah. Rapat internal bersama stakeholder, juga dewan pembina yang mayoritas berasal dari dosen beberapa kampus di Jogja. Seiring itu juga, Segara mulai terbiasa menikmati hidupnya sendiri. Ia mulai mengurangi intensitas bekerja di RPS. Bahkan meminta seorang karyawan baru untuk menggantikannya. Segara memilih menjadi freelancer desain grafis, sesekali menyempatkan diri mengunjungi RPS, minimal seminggu sekali.
Pekerjaan yang ia tekuni itu membawanya pada sebuah kafe baru yang meminta desain logo. Seperti biasa, Segara memenuhi undangan dari klien setelah membuat konsep secara kasar. Namun, kali itu berbeda, ia terkejut bukan main ketika bertatap muka dengan orang yang ingin menggunakan jasanya. Mereka adalah Alan dan Jindan, pasangan gay yang salah satunya adalah kakak Afrizal.
Siang itu Segara duduk pada kursi kayu di area outdoor dengan pohon-pohon rindang di atasnya. Alan keluar bersama Jindan, membawa tiga gelas blue ocean yang dihidangkan di atas meja bundar.
“Gimana konsepnya? Ada yang berubah?” tanya Alan. Bagi Segara, wajah pria itu sulit dibedakan dengan Af.
“Engga ada, saya coba bikin sketsanya dulu. Nanti baru kita diskusikan bareng lagi.” Segara menjawab ringkas, ia merasa risih karena melihat tatapan Jindan yang terus mengawasi. “Sorry, aku engga nyaman ditatap kayak gitu.” Segara mengeluh, menyipitkan mata ke arah Jindan.
“Dia memang begitu,” timpal Alan.
“Seingatku, waktu dia tanya-tanya di RPS, orangnya engga kayak gini. Itu pura-pura?” tanya Segara polos.
“Apa yang kamu lihat belum tentu yang sebenarnya terjadi. Apalagi ketemu saya sekali.” Jindan tersenyum kecut, lalu kembali memicingkan mata, menatap Segara dari ujung kaki hingga kepala.
“Jadi, aku di sini engga cuma dibutuhkan untuk desain logo kafe kalian, kan?” tanya Segara.
“Ini soal pembunuh Af.” Raut wajah Alan berubah tatkala menyebut nama adiknya.
“Apa hubungannya sama aku?”
“RPS itu gembong narkoba. Orang-orang bejat ada di sana. Pasti salah satu dari kalian pelakunya!” tuduh Alan tanpa tedeng.
“Kita tes urin sekarang? Aku bersih! Lagian tahu apa kamu soal RPS?” sergah Segara dengan penuh penekanan.
“Bukan kamu, tapi orang-orang di sekitarmu.”
“Kamu jangan bikin kesimpulan sendiri, Mas. Kalau kamu engga tahu apa-apa, mending kamu cari tahu dulu. Jangan asal ngomong.”
“Kamu yang bodoh. Heran aku ada orang sedungu kamu. Kamu bisa hidup tenang padahal berada di tengah orang gila.” Alan menggeleng tak percaya, lalu bangkit dari kursinya. “Kita ke kantor Salma sekarang!”
Tanpa bertanya lagi, mereka bertiga masuk ke dalam mobil berwarna putih, melaju menembus jalanan Jogja. Tak butuh waktu lama, mereka tiba di kantor polisi, bergerak ke sebuah ruangan di lantai dua. Di sana Salma telah menunggu dengan wajah lelah dan kusut.
“Aku datang sama dia.” Alan menunjuk Segara yang berdiri di sebelahnya. “keberadaan dia engga bakal mempercepat kita menemukan pembunuh adikku. Dia bisa apa, sih? Af suka sama dia pun, dia engga tahu. RPS jualan satu ton narkoba pun, dia engga bakal percaya!”
Segara mengepalkan tangan geram. Ingin rasanya ia melayangkan tinjunya ke wajah laki-laki itu. Badannya yang ramping dan gemulai, tak akan sehebat mulutnya yang tak punya filter. Meski wajahnya hampir sama dengan Af, perilakunya tak akan menyalahi pepatah bagai bumi dengan langit. Af yang pendiam dan sangat pakewuh, sering gelisah karena takut menyinggung orang lain. Sedangkan Alan ceplas-ceplos tanpa memikirkan diksi.
“Sorry, aku harus jelasin semuanya dari awal.” Salma menyetop mulut Alan dengan mengangkat kedua tangannya di depan dada, menyuruh duduk tenang. Mereka berempat pun duduk pada kursi jati di ruangan Salma.
“Segara, sorry banget karena harus bohong selama ini. Dengan kamu seintensif itu berada di RPS, kamu engga mungkin kami libatkan. Tapi sekarang, faktanya semakin terang sejak kematian Hikam, relawan KPKI. Dia ditemukan gantung diri sekitar lima bulan yang lalu. Tak lama setelah demo di depan gapura RPS. Kalau secara formal, kasus Af juga sudah ditutup, tahu sendiri Pak Andar, bapaknya Af dan Alan, tidak mungkin membiarkan kami mengusutnya. Seluruh jajaran kepolisian tahu jabatannya. Jadi, ini hanya murni urusan kita.”
“Bentar deh, Hikam? Yang dulu memata-matai diskusi RPS? Juga provokator demo itu?” tanya Segara, dengan dahi berkerut.
“Iya,” timpal Alan yang juga sudah mempelajari kematian Hikam.
“Kesimpulannya menjurus bahwa pembunuhnya sama dengan Af. Mereka berdua sama-sama meninggalkan surat wasiat. Hebatnya lagi, kalau menurut analisis grafologi, surat itu sama-sama ditulis di bawah tekanan.” Salma menjelaskan dengan rinci.
“Af punya surat wasiat?” tanya Segara lagi.
“Iya, aku yang simpan. Begitu mayatnya ditemukan polisi. Aku minta tidak diekspos. Surat itu di dalam ranselnya, dimasukkan ke dalam plastik pas foto bening, supaya tidak terkena air.” Alan menghela napas, kenangan tentang tragedi itu selalu membuat dadanya sesak.
“Kenapa kalian curiga Hikam dibunuh?” tanya Segara dengan dahi berkerut.
“Tidak ada hesitation mark, tidak ada jejak si pembunuh. Tapi kita engga bisa mengabaikan fakta, bahwa seorang laki-laki yang akan menikah dalam beberapa bulan, bunuh diri. Dia engga punya masalah yang berarti. Menurut beberapa kesaksian temannya yang didapat dari penyidik, engga ada satu orang pun yang percaya bahwa Hikam bunuh diri. Sampailah di analisis grafologi, bahwa surat wasiat itu ditulis di bawah tekanan. Seperti ada yang menodongkan pistol atau benda tajam, tulisannya agak miring ke bawah, seolah-olah dia melihat pada satu arah, ke arah si pembunuh.”
“Jadi, untuk apa aku di sini, setelah kamu menempatkanku sebagai salah satu tersangka yang mempunyai kemungkinan membunuh Af. Itu kan yang membuatmu menutupi perkembangan kasusnya?” tanya Segara kesal, “padahal empat bulan yang lalu, aku buat janji sama kamu. Dan ingat, kamu hanya geleng-geleng seolah tidak terjadi apa-apa dan tidak tahu apa-apa.”