Persona

Sriwiyanti
Chapter #22

Perjanjian

Hampir dua jam Segara menunggu di depan kos Anjani. Ia sempat memencet bel rumah dua lantai itu, tapi yang keluar justru teman kosnya, mengabarkan bahwa Anjani sedang tidur dan pintu kamarnya dikunci. Entah kenapa Segara yakin Anjani sengaja tak mau menemuninya, lagi pula itu baru jam tujuh malam. Segara memilih menunggu.

Setiap tiga puluh menit, ia kembali memencet bel lalu bertanya apakah Anjani sudah bangun atau belum. Hingga pada bel yang ketiga, setelah hampir dua jam Segara uring-uringan di kursi kayu itu, Anjani muncul dalam balutan piyama berwarna hitam dengan selendang yang dililitkan di kepala dan leher. Matanya merah, suaranya serak, sesekali ia terbatuk.

“Kamu sakit?” tanya Segara yang langsung berdiri begitu melihat sosok Anjani di hadapannya.

“Engga, butuh istirahat aja. Tapi diganggu terus sama suara bel.” Anjani duduk pada kursi di seberang Segara.

“Ke dokter aja, yuk.”

“Ada angin apa, sih? Kamu mencariku selang sehari. Tiba-tiba perhatian kayak emak-emak,” sergah Anjani, lalu sesekali menggosok ujung hidungnya yang gatal.

“Kamu udah makan?”

“Udah. Apaan, sih? Pertanyaanmu aneh, to the point aja. Soal Hikam?”

“Kamu kenapa sih engga pernah mau nerima perhatian orang?”

“Aku engga suka.”

“Bohong!” sergah Segara sambil bersiap-siap memakai jaket dan tasnya. “Aku bawa motor, tapi kamu bisa kedinginan. Daripada kamu tambah sakit, kita naik taksi aja. Aku mau ngomong sesuatu yang penting,” ajak Segara begitu sebuah mobil berwarna merah tiba di depan gerbang.

“Ya ampun! Kamu udah pesan mobil? Aku ganti baju dulu kek,” keluh Anjani, menatap tampilannya dari atas hingga kaki yang hanya mengenakan sandal jepit.

“Udah engga apa-apa, engga ada yang mau perhatiin kamu kok.”

Mereka berdua berjalan beriringan menuju gerbang. Anjani melipat tangannya, mengambil jaket saja ia tak sempat. Sopir taksi sudah telanjur membuka pintu. Segara melepas jaketnya lalu disampirkan di punggung Anjani.

“Kamu kebanyakan nonton drama!”

“Udah pakai aja, bawel!”

Mereka tiba di sebuah rumah makan indoor, memesan beberapa menu pada pelayan yang datang menawarkan. Lalu Segara menutup pesanannya dengan sebuah permintaan minuman yang tidak ada di menu, “Hot lemon tea plus honey, Mas. Istri saya lagi flu.”

“Apaan, sih!” sergah Anjani ketus.

“Engga apa-apa, biar kamu engga cepat tua. Cemberut terus,”

“Kamu habis mimpi apa, sih? Serius, aneh!”

“Udah, kamu sembuh aja dulu.”

“Kamu orangnya cukup percaya diri ya, atau kamu emang terbiasa kayak gitu, membuat kesimpulan sendiri. Kamu seyakin itu kalau aku senang diajak jalan kayak gini?”

“Aku engga pernah seyakin ini.” Segara terkekeh mendengar jawabannya sendiri.

Anjani menghela napas, mengusir kehangatan yang mulai merontokkan dinding-dinding sepinya. Aneh, perasaan itu justru menguasainya.

“Aku serius, aku mau belajar menjaga komitmen. Hubungan kan soal itu. Perkara kamu bosan, kamu capek, you need to stay.” Segara melanjutkan pembicaraannya sambil mengelap sendok dan garpu dengan tisu, lalu meletakkannya di piring Anjani.

“Kamu tahu cerita pernikahan Josh Weed? Dia menikah dan memiliki empat orang anak. Pernah mengaku sangat bahagia dengan pasangannya. Lalu setelah lima belas tahun mereka bercerai, hanya karena bom waktu yang selama ini tertanam dalam fondasi rumah tangga mereka. Josh seorang homoseksual. Engga ada orang yang pengen ending kayak gitu, kan?” tanya Anjani.

“Pertanyaanmu menyiratkan kalau kamu mau nikah sama aku, tapi kamu masih ragu. Dan yang paling penting, kamu mau kita bareng terus, engga kayak akhir pernikahan Josh Weed. Yes!” ujar Segara, lalu mengepalkan tinjunya di depan dada sambil tertawa.

“Kamu engga butuh jawabanku, terlepas dari kamu akan menikah dengan perempuan mana pun. Kamu butuh meyakinkan dirimu kalau kamu punya asas ketertarikan. Bukan hanya komitmen kosong.”

“Iya, dan perempuan itu kamu. As simple as that.”

Stop it. Ganti tema bercanda yang lain aja. Aku males kayak gini.”

“Aku engga lagi bercanda, serius.”

“Aku engga nanya,” tutup Anjani, lalu berdiri usai menghabiskan minumannya. Meski ia menikmati kehangatan bersama Segara, ia tak ingin tujuan awalnya buyar. Lebih-lebih oleh perasaan personal pada pria yang tak bisa ditebak.

Mereka pulang tanpa banyak bicara, Anjani menutup hidung dan mulutnya dengan sapu tangan milik Segara. Pening di pangkal alisnya masih menggigit. Segara berlari hendak membukakan pintu mobil, tapi Anjani sudah keluar lebih dulu. Mereka berpisah di depan gerbang. Segara pun memacu kendaraannya pulang. Besok pagi, tiket pesawat menuju Lombok telah menantinya.

***

           Setelah agenda makan malam bersama Segara, laki-laki itu kembali menghilang. Hampir seminggu ia tak memberi kabar. Untungnya Anjani sudah kebal, ia tak bisa mengharapkan apa pun dari Segara. Terutama sejak Segara menghilang selama dua bulan tepat setelah mengajaknya menikah. Ia pikir kali ini pun akan sama, atau mungkin lebih lama. Anjani tak ingin peduli. Hingga hari itu, sebuah panggilan masuk di ponselnya.

“Pulang kapan?” tanya ibu di ujung sana.

           “Tiang belum tahu. Nunggu libur panjang mungkin.” Anjani mengernyitkan dahi, sebab pertanyaan semacam itu jarang terlontar dari mulut ibunya.

Lihat selengkapnya